Ibu-Ibu Gaul

Ibu-Ibu Gaul

Dulu, waktu pindahan untuk mengontrak, Ibu mertua saya mewanti-wanti agar bergaul dengan tetangga. Ah, itu sih gampang, pikir saya. Toh selama saya sekolah sampai kuliah, saya merasa tidak ada masalah dengan pergaulan. Saya kenal banyak orang dan banyak orang kenal saya (tapi bukan berarti saya orang terkenal ya, hehehe).

Nah, sekarang kami mengontrak di sebuah kavling perumahan di Jakarta. Boleh dibilang, di sini hampir semua rumah pakai pintu gerbang. Ramai kalau pagi, itupun ramai suara garasi dibuka, mobil – motor keluar, diselingi bunyi ting-ting mangkuk pedagang bubur ayam atau suara dari pedagang roti, kemudian sepi lagi. Baru kemudian sore menjelang maghrib ramai lagi, mobil – motor masuk, dan para pedagang nasi goreng memecah kesunyian. Tak terlihat ibu-ibu berkumpul, kemudian bergosip, seperti kebanyakan di perumahan-perumahan.

Pikir punya pikir, kapan gaulnya nih tinggal di sini? Saya kerja. Orang-orang juga kerja. Akhir pekan pun sepi, orang-orang yang lelah bekerja memilih berdiam di rumah. Cuaca yang panas pun membuat semakin malas keluar rumah. Ditambah lagi, rentang usia saya dan ibu-ibu yang tinggal di sini lumayan jauh.

Ah, ya, tapi tetep, kita mesti bergaul. Caranya? saya mencoba mendatangi tempat-tempat dimana Ibu berkumpul. Misalnya, ke majlis ta’lim Masjid kompleks, pesertanya Ibu-ibu dan eyang-eyang. Ohya, saya jadi kenal dan mengenal banyak orang tentunya. Nah, di sini saya lumayan jadi bisa gaul. Buktinya, saking akrabnya dengan salah satu Eyang, sampai-sampai dikira “menantu baru”. Hehehe. Selain majlis ta’lim, saya menyemangati untuk rajin ke warung sayur, bukan menunggu tukang sayur keliling. Tiap jam enam pagi, Ibu-ibu sudah berkumpul di sana. Untungnya, Ibu-ibu di sini nggak suka menggosip! Itu hebatnya.

Tapi, itu saja sangat tidak cukup, karena tidak akan mengenal dekat ibu-ibu satu RT. Jadi, tetangga saya, sebagai seorang Ibu yang sudah senior dan termasuk “pribumi”, memberikan tips: ikut arisan RT. Hiks, arisan?? Ah, tapi nggak papa, saya ikut saja. Malangnya, tiap kali jadwal arisan, saya hampir selalu berhalangan hadir. Untungnya, meski tidak bisa hadir, saya tetap punya kesempatan “bergaul” dengan ibu-ibu senior, misalnya saat menitip uang arisan atau saat disamperin berangkat arisan.

Datang ke majlis ta’lim, warung sayur, dan ikut arisan tentu saja tidak cukup. Masih ada lagi yang perlu didatangi bila mau dikenal dan mengenal orang banyak. Jadi tips berikut adalah datang ke (saya suka menyebutnya) perkumpulan Eyang-Eyang Gaul. Markasnya adalah pos RW. Banyak kegiatannya, dari mengelola sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai mengadakan Posyandu. Malangnya lagi, kegiatan ini bertepatan dengan jam kerja saya. Nah, untungnya lagi, di sela-sela jam kerja saya, saya masih bisa datang ke Posyandu. Meski kemarin sore saya sudah menimbang berat badan Abrar, sulung saya, saya pun tetap bersemangat ke Posyandu hanya untuk menimbang (ulang) berat badan anak saya. Biar gaul!

Benar saja, di sana saya menyapa dan disapa banyak orang. Anak saya juga jadi banyak yang kenal. Wah, saya sudah jadi ibu-ibu gaul nih, pikir saya. Tak lama, datang seorang Ibu yang sudah saya kenal, sebut saja Bu Ani.
“Bu Ani, mau nanya, rumah Bu Bambang itu sebelah mana ya, Bu Irwan sih nunjukinnya di jalan yang mau ke rumah Bu Ani?”, saya menanyakan dengan semangat.
“Bu Bambang ya saya... suami saya Bambang,” sahut Bu Ani.
“Waduuuh... kok saya nanya Ibu yang di samping kanan rumah Bu Ani, kok bilangnya nggak kenal Bu Bambang?”
“Ooooh..... dia memang orangnya nggak gaul,” kata Bu Ani dengan raut wajah yang menggambarkan tidak suka pada tetangga sebelahnya.

Nah, jadi ada tips terakhir: belum bisa disebut gaul kalau tidak tahu nama suami tetangga sebelah kita. Haaaah!!! Saya jadi panik, segera saya dorong baby troller Abrar dan saya pun ngeloyor pergi... dengan sangat malu. Ucapan Bu Ani sesungguhnya sangat menusuk hati saya, berarti bukan hanya tetangga Bu Ani yang tidak gaul, saya pun ternyata belum bisa jadi ibu-ibu gaul.