Ributnya Ibu-Ibu di Facebook



Saya heran ya, di facebook, seringkali mendapati perseteruan ibu-ibu.  Tak hanya kali ini, sering. Apa yang mereka ributkan? Ibu rumah tangga vs Ibu bekerja, Anak ASI vs anak susu formula, Anak imunisasi vs anak non imunisasi, anak lahir normal vs cesar, dan sebagainya.  Mereka saling ngotot kelompoknyalah yang paling baik. Saya tertarik berpendapat soal perseteruan IRT vs Ibu bekerja. Tema pembicaraan yang lama, tapi selalu seru untuk dibicarakan tampaknya.

Ibu yang bekerja berpendapat perempuan bekerja lebih baik, karena bisa berkontribusi terhadap lingkungan, bisa membantu suami mencari nafkah, bisa mencetak ‘sejarah’ seperti wanita-wanita gemilang terdahulu yang keluar rumah untuk berkarier/berkontribusi. Kalau tak ada perempuan yang bekerja, siapa yang akan membantu para perempuan lain melahirkan. Tak ada dokter kandungan perempuan, tak ada bidan, padahal ini sangat dibutuhkan. Kalau tak ada perempuan yang berkarir di bidang politik, siapa yang akan menyerukan aspirasi kaum perempuan? Adakah kaum laki-laki benar-benar memahami perempuan? Jika tidak ada akhwat-akhwat yang bekerja di kantor, siapa yang akan mendakwahi perempuan-perempuan lain di kantor untuk menutup aurat, mendekat pada Allah? Jika tidak ada perempuan yang bekerja, terekspos prestasinya, maka kepada siapa anak-anak perempuan kita “berkaca” agar turut mengukir prestasi. Jika tak ada perempuan bekerja, maka akan begitu banyak sektor-sektor dalam kehidupan ini yang timpang.

Para ibu rumah tangga berpendapat merekalah yang lebih baik. Di zaman yang serba “tidak jelas” ini, maka seorang ibu harus benar-benar mencurahkan perhatiannya pada anak-anak dan suami agar terhindar dari lingkungan buruk. Merekalah supermom yang waktu kerjanya 24 jam 7 hari seminggu. Merekalah orang-orang yang punya kapasitas sabar 200 persen dalam mengalahkan perasaan bosan bergelut dengan pekerjaan-pekerjaan domestik. Mereka mengaku bahwa di balik kejayaan para suami, sebenarnyalah itu buah kerja keras seorang istri yang siap sedia memenuhi kebutuhan suami. Mereka mengaku orang hebat karena tidak terpengaruh dengan isu-isu feminis yang gencar menyemangati perempuan untuk berkarir di luar rumah. Mereka mengaku bahwa merekalah yang pantas menjadi contoh, dengan keberhasilan-keberhasilannya.

Hmmmm, plis deh ibu-ibu! Saya terus terang sangat tidak setuju para perempuan bekerja yang menganggap dirinya lebih baik. Saya pun sangat benci dengan para ibu rumah tangga yang menganggap dirinya lebih baik.
Kadang....saya sangat menyesalkan keberadaan facebook di tangan ibu-ibu. Bukannya menggunakan teknologi dengan bijak, tapi malah menggunakannya untuk menyebarkan bibit-bibit kebencian sesama para ibu. Bukannya menggunakan facebook sebagai sarana sharing ilmu mendidik anak-anak, tapi malah untuk update status yang membanggakan diri dengan nada merendahkan orang lain.

Menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, semua adalah pilihan. Dan semua pilihan itu mempunyai resikonya masing-masing.

Buat yang ibu rumah tangga, bayangkanlah diri sendirinya bekerja. Pagi-pagi buta bangun, menyiapkan segala keperluan suami dan anak-anak, memastikan segala keperluan anak tersedia di rumah, kemudian harus mempersiapkan diri sendiri bekerja. Perjalanan ke kantor, bagi yang bekerja di Jakarta, tentulah sangat berat. Menggunakan kendaraan pribadi, sangatlah melelahkan karena kemacetan dimana-mana. Menggunakan kendaraan umum, KRL atau kopaja, sangatlah tidak ramah perempuan.  Sampai kantor, mending kalau pekerjaan lancar. Mengejar deadline, dimarahi atasan, oooh.....sungguh tidak menyenangkan. Belum lagi fitnah pergaulan yang mungkin muncul di lingkungan kantor. Saya pernah mendengar cerita seorang kawan, berkumpul dengan teman kantor dengan minum minuman keras sudah hal biasa di kantornya. Seks bebas, perselingkuhan, pun katanya ada suatu lingkungan kantor yang “memaklumi”. Pulang kerja, sudah letih, ingin bermain dengan anak-anak, tapi mereka sudah tertidur. Ingin rasanya menemani suami, tapi penat sudah tak tertanggungkan. Sungguh, seharusnya para ibu rumah tangga patut bangga bila ada ibu bekerja yang bagus mengurus anak dan suami, pekerjaan sukses, dan pergaulan masih terjaga. Apalagi bila dengan karirnya itu, ibu bekerja ini semakin bermanfaat untuk ummat, semakin banyak yang ia kontribusikan untuk perbaikan generasi.

Buat yang bekerja, bayangkanlah diri sendirinya menjadi ibu rumah tangga. Setiap detiknya selama 24 jam dia bergumul dengan hal-hal itu saja, bangun, memasak, mengurus anak sekolah, mencuci, membereskan rumah, menyapu, menyetrika, itu lagi-itu lagi. Meski ada pembantu, biasanya anak-anak seorang ibu rumah tangga lebih dekat dengan ibunya. Kemana-mana harus dengan ibunya, menempel terus. Masih beruntung bagi ibu rumah tangga yang mempunyai komunitas, pengajian misalnya, ada saat-saat tertentu dia bisa menghilangkan rasa bosan dengan pengajian, hal yang baik. Saya prihatin dengan cerita seseorang. Di suatu sekolah, ada genk ibu rumah tangga yang tampaknya mereka baik-baik saja jika mengantar anak sekolah. Tapi begitu anak masuk sekolah, sambil menunggu anak-anak pulang, mereka berkumpul dengan genknya, nongkrong-nongkrong di tempat makan sambil merokok dan mengobrol yang tidak jelas! Mereka, berkerudung semua! Aneh memang, tapi ada. Mereka tentu bosan dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga, yang rasanya tersingkir dari dunia sampai kadang lupa kalender. Sehingga begitu menemukan yang senasib, mereka serasa mendapat kekuatan. Yach, kadang saya juga tidak percaya dengan adanya ibu-ibu rumah tangga yang membentuk sebuah arisan..... arisan “berondong”....! Saya berharap arisan yang melegalkan perselingkuhan dengan laki-laki muda itu benar-benar tidak ada, hanya kabar-kabari saja. Menyedihkan bukan? Sungguh, seharusnya para ibu bekerja patut bangga bila ada ibu rumah tangga yang bisa menjadi teladan mengurus anak, menjadi sumber ilmu mendidik anak dan mengelola kehidupan berumah tangga, tetap menjadi sumber manfaat bagi lingkungannya, tetap bisa memanfaatkan ilmu di bangku kuliahnya, apalagi jika ia bisa menjadi sumber nafkah lain meski tidak keluar rumah.

Semua pilihan beresiko. Di kantor ataupun di rumah, semua beresiko. Saya merasa, tak perlu lagi saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Saya yakin, tak ada seorang ibu yang berkerja murni dengan niat kabur dari urusan pekerjaan rumah yang membosankan. Sebagaimana saya yakin, tak ada seorang ibu yang tidak bekerja murni dengan niat agar bisa bersantai-santai menonton infotainment sambil menyeruput secangkir kopi.

Semua pilihan pasti sudah dipertimbangkan baik buruknya dan melihat kondisi. Bagaimana kondisi keuangan suami? Bagaimana kebutuhan suami? Bagaimana urusan pengasuhan anak-anak? Bagaimana persetujuan orangtua si perempuan yang sudah menyekolahkan tinggi-tinggi? Bagaimana kondisi lingkungan kerja? Bagaimana kondisi lingkungan rumah? Pasti, pasti sudah dipertimbangkan matang-matang.

Semua pilihan pasti sama-sama merepotkannya, tapi juga sama-sama menyenangkannya. Tinggal pilih, mana yang lebih membahagiakan keluarga dan hati si ibu.

Semoga bermanfaat.

Depok, 26 Desember 2012
Saya dulu ibu bekerja, tapi untuk saat ini menjadi ibu rumah tangga. Tapi itu sudah pilihan saya. Suatu saat akan bekerja lagi  atau terus menjadi ibu rumah tangga, saya tidak tahu, karena waktulah yang akan menjawab semuanya. Satu hal yang pasti, saya akan berusaha selalu mencintai pilihan saya. Saya pun akan selalu menghargai  pilihan orang lain.