PhD (Pakistan houswife's Diary) Part 1: Ketukan Keras



Saya merasa shock culture saat pertama kali datang di Lahore terutama karena cara mengetuk pintunya. Di sini semua pintu menggunakan besi dan dilengkapi bel yang bunyinya seperti bunyi burung. Jika lampu hidup, orang-orang akan memencet bel. Tapi, karena Pakistan di landa krisis listrik, menyebabkan listrik hidup satu jam kemudian mati satu jam, hidup lagi satu jam, dan seterusnya. Bahkan sering mati berjam-jam. Jika listrik mati, bel tidak berfungsi, maka orang-orang Lahore akan mengetuk pintu besi. Ketukannya sangat keras, cepat, berulang-ulang.

Pernah suatu hari, di musim dingin yang gelap dan senyap, terdengar pintu rumah saya di ketuk. Sangat keras. Kalau ini di Indonesia, saya sudah yakin orang yang mengetuk pintu sedang marah-marah. Saat itu kami hanya bertiga, saya, Abrar, dan Arifa. Kami sedang bersiap-siap tidur siang. Mendengar ketukan keras itu, Abrar dan Arifa langsung memeluk saya. Abrar bilang, “Ummi.... jangan dibuka ya....”. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan. Malah saya mengajak Abrar dan Arifa bersembunyi di balik selimut tebal. Pura-pura sudah tidur!

Keesokan harinya, usai hujan es yang dingin disertai angin kencang, saya mengajak Abrar dan Arifa berkunjung ke rumah tetangga, keluarga Pak Khadeem. Kami membawa rantang berisi bubur kacang hijau rasa Indonesia (rasa ala kadarnya, karena saya tidak bisa memasak sebetulnya). Saya mengetuk-ngetuk pintu rumah Pak Khadeem, tak ada yang membuka. Saya telpon handphone Pak Khadeem, tidak tersambung. Listrik hidup, saya pencet bel. Terdengar sahutan. Saya tengok ke atas, di lantai tiga, sudah berbaris satu keluarga, Baba, Mama, dua orang dewasa lainnya, anak-anak kecil. Salah satu bicara dengan bahasa urdu, saya tidak tahu, tapi saya hanya menangkap isyarat dia bertanya mencari siapa.  Saya tanya “Mr Khadeem?” Dia menjawab “Nehi....”, sembari menunjuk sebuah pintu. Rumah di sini bentuknya memang berbeda dengan di Indonesia, bangunan bertingkat-tingkat, besar dan tinggi. Biasanya, tiap lantai dihuni keluarga yang berbeda. 

Dua puluh menit berlalu. Pintu rumah Pak Khadeem tak kunjung dibuka. Abrar dan Arifa malah bermain-main dengan angin yang dingin, sambil mengepak-ngepakkan kedua tangannya seperti mau terbang. Saya coba ketuk lagi, dengan penuh doa agar tuan rumah mendengar. Akhirnya, sebuah kepala muncul dari lubang dinding yang memang khusus dibuat hanya untuk menjulurkan kepala. “Hai Isti...”,  sapa Fozia, putri Pak Khadeem. Setelah duduk di kamarnya, yang beralas tikar berlapis-lapis, inilah kalimat pertama yang Fozia ucapkan “Ketukan kamu sangat pelan, bagaimana kami bisa mendengar... hahahaha”. Bahasa Inggris Fozia sangat bagus, hanya saja dialek Pakistannya sangat kentara. Kemudian dia mempraktekan cara mengetuk pintu ala Pakistan: kelima jari dilebarkan, pukulkan kencang-kencang ke pintu, berulang-ulang. Dia masih saja tertawa, Ibu tirinya pun tertawa. Saya yang masih heran terpaksa ikut tertawa, kemudian bercerita bahwa di Indonesia saya tidak pernah mengetuk pintu sekeras itu. Apalagi saya berasal dari suku Jawa, yang harus mengutamakan sopan santun. “Kalau saya mengetuk sekencang itu, nanti saya dikira sedang marah-marah atau mau nagih hutang, hahaha”. Kali ini, gantian Fozia yang terheran-heran.

Oke, pelajaran cara mengetuk pintu hari ini mau-tak mau harus saya terima, karena sekarang saya bukan tinggal di Jawa. Di kemudian hari, saya dan anak-anak tidak lagi bersembunyi di balik selimut jika pintu rumah diketuk tetangga.