Berbagi Uang
Siang itu, saya masih membaca tumpukan diktat. Ujian dua jam lagi. Asrama sudah mulai sepi. Kebanyakan teman-teman kuliah jam 8. Seperti biasa, saya membuka lebar-lebar jendela kamar yang menghadap kebun asrama, menutup pintu yang menghadap koridor, dan menyetel MP3 keras-keras. Ini suasana yang paling mengasyikkan untuk belajar.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Dengan agak sungkan, saya membuka pintu. Sebuah senyum menyambut. ”Oh, Ibu... silakan masuk...,” saya mempersilakan. Ibu yang saya maksud adalah orang yang berjasa membersihkan lantai asrama dan mencucikan baju sebagian mahasiswi. Teman-teman menyebutnya ’Ibu Pantry.’ Ibu hanya tersenyum, tidak mau masuk. Dengan agak malu-malu, Ibu menyampaikan permintaan maaf terlebih dahulu. Saya tidak tahu apa maksud Ibu. ”Emmm....maaf, begini Neng... tapi.... kalo bisa....” Kemudian mengalirlah cerita Ibu. Mertua ibu sedang sakit. Ibu ingin menjenguk, tapi tidak mempunyai uang. Malu, kalau menjenguk mertua tapi tidak membawa apa-apa. Ibu menyebutkan angka yang ingin dipinjam. ”Nanti, saya ganti Neng...”
Saya terdiam sesaat. Bukan masalah nanti diganti atau tidak. Juga bukan masalah Ibu ingin meminjam uang Rp 20.000. Berapapun, kalau saya ada uang, saya pinjamkan. Masalahnya, kemarin baru saja ada teman meminjam Rp 30.000. Sementara uang transferan orangtua tinggal seberapa. Padahal masih tengah bulan. Saya mencoba mengingat-ingat jumlah lembar uang di laci almari. Juga warna uang itu. Benar, tinggal seberapa saja. Hanya cukup untuk ke kantin selama beberapa hari saja, tak sampai setengah bulan. Belum lagi jika harus memfotokopi bahan-bahan ujian. ”Pinjemin, tidak. Pinjemin, tidak. Pinjemin.....” Kalau dipinjamkan, bagaimana nanti saya makan. Kalau tidak dipinjamkan, bagaimana nanti hubungan ibu dengan mertua Ibu. Wah, bisa rumit nanti kalau ada ketersendatan hubungan ibu dan mertua gara-gara ibu tak datang di saat mertua membutuhkan. Akhirnya, saya putuskan: berikan uang itu untuk ibu. Saya pikir, sekalian untuk merawat hubungan akrab dengan ibu. Bagaimana nanti saya makan, nanti saja memikirkannya.
Satu minggu berselang, uang 50.000 yang dipinjam belum juga kembali. Saya yakin akan cerita Ali bin Abi Thalib yang memberikan uang pada musafir yang membutuhkan, lantas Allah mengganti dengan jumlah berkali lipat. Saya pun berdoa ”Ya Allah kembalikan uang saya...” Saya memang punya kejelekan, agak sungkan menagih uang. Karena itulah, sampai akhir bulan, uang yang saya pinjam belum juga kembali. Tapi hebatnya, saya ternyata masih bisa makan sampai akhir bulan, tanpa minta dikirimin uang lagi. Saya pikir, mungkin ini yang namanya barakah. Dalam perhitungan manusia, uang saya tidak akan cukup sampai akhir bulan. Tapi ternyata, perhitungan Allah berbeda. Walhasil, saya mengikhlaskan uang yang dipinjam Ibu dan seorang teman saya. Cerita soal pinjam-meminjam itu pun saya pending, karena saya ingin tahu jawaban Allah atas doa saya.
Hingga sampailah saya pada sebuah pengumuman di pakom (papan komunikasi) kampus. Ada lowongan menjadi enumerator (peneliti lapangan) Pilkada. Tumben, saya nggak ketinggalan info. Begitu pikir saya. Saya pun mendaftar menjadi enumerator. Ternyata saya mendapat wilayah penelitian di Gudang Peluru, Tebet. Aduh, mana tahu saya daerah itu. Tapi Allah memberi kemudahan, ternyata setelah dilacak, tempat penelitian saya itu satu kompleks dengan rumah Budhe. Budhe memang bukan saudara sedarah saya. Kita berbeda, budhe keturunan Arab, saya Jawa asli. Tapi kita jadi bersaudara dekat karena dua tahun lalu (sebelum kuliah) saya pernah satu kost dengan keponakan Budhe.
Singkat cerita, Budhe menyambut saya dengan girangnya. ”Mimpi apa saya semalam... bisa kedatangan isti..., kamu sudah besar ya...” Saya bahagia sekaligus terhenyak, ketahuan jarang silaturahim! Karena dibantu Budhe yang asli warga daerah itu, saya jadi mudah menemukan para responden. Tak sampai 7 jam, penelitian selesai. Saya mendapat honor Rp 640.000. Jumlah yang besar saat itu.
Saya pun akhirnya meng-klaim, bahwa honor itu dan pertemuan hangat saya dengan Budhe adalah balasan saya berbagi uang sebulan yang lalu. Karena - seperti yang sudah saya katakan - biasanya saya ketinggalan info kalau ada lowongan jadi enumerator. Tapi kali ini tidak, karena Allah ingin mengganti uang saya lewat penelitian ini. Saya yakin itu!
Tulisan ini dibikin akhir taun 2007, udah pernah dimuat di Annida. alhamdulillah... jadi duit. hehehe. Daripada ngilang, mending ditaruh di museum tulisanku ini.