Menikah, Itsar Atau Fastabiqul Khoirot?
Mungkin, seperti saya, Anda juga sering mendengar alasan seseorang menunda pernikahannya karena alasan "Kakakku belum menikah." Meskipun dia sudah siap dan layak menikah, dia tetap tak bersegera menikah hanya lantaran si Kakak belum menikah. Apalagi bagi yang memegang prinsip "Ngelangkahi itu tidak boleh." Ngelangkahi artinya mendahului menikah sebelum kakaknya menikah.
Sayangnya, 'penyakit' ini tidak hanya menjangkit orang-orang umum. Bahkan, para aktivis dakwah pun, masih ada yang menjadikan "kakakku belum menikah" sebagai alasan menunda pernikahan. Memang, alasan mereka tentu saja bukan karena tabu atau melanggar prinsip bahwa ngelangkahi tidak boleh. Mereka, saya yakin, sudah paham bahwa alasan seperti itu tidak boleh dijadikan pegangan untuk menunda pernikahan.
Nah, yang membuat saya kaget dan benar-benar prihatin adalah alasan begini : "Ane tidak mau menikah dahulu, karena kakak perempuan ane belum menikah. Ane sangat menyayangi beliau. Puncak ukhuwah ane dengan beliau adalah itsar tidak mendahului menikah."
Heey...! Atas nama itsar kau berani melanggar perintah Allah dan ajaran Rosul?
Sejatinya, seorang aktivis dakwah tentulah paham bahwa menikah harus dipandang sebagai ibadah, bukan urusan dunia. Untuk urusan bersegera ibadah, Rasulullah telah bersabda ''Tidaklah suatu kaum mengakhir-akhirkan (perbuatannya) kecuali Allah pun akan mengakhirkan mereka.'' Dalam Al Qur'an pun disebutkan bahwa perintah untuk menjaga diri dari siksa api neraka pun dimulai dengan menjaga diri sendiri terlebih dahulu. Kemudian, barulah disusul menjaga keluarga (QS At Tahrim [66]: 6). Artinya adalah, jika seorang aktivis dakwah memandang bahwa menikah adalah urusan ibadah, urusan taqorrub ilallah (untuk mendekatkan diri kepada Allah), urusan penjagaan diri, tentulah ia akan bersegera menikah jika memang sudah siap. Artinya, dia paham, bahwa itsar (mendahulukan orang lain) dalam urusan ibadah adalah TERLARANG.
Sebagai aktivis dakwah, tentulah selayaknya sudah paham di mana menempatkan itsar dan dimana menempatkan fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Untuk urusan ibadah, yang tepat adalah kita berlomba untuk menjadi yang lebih segera. Untuk urusan dunia, dahulukan orang lain agar lebih segera menikmatinya.
Jadi, untuk menjadikan diri lebih baik, kenapa tidak?
Maaf untuk yang merasa terusik hatinya. Semoga bermanfaat.
Jakarta Timur, 24 Maret 2009