Sarjana Upik Abu

Mumpung Mas Abrar lagi main sendiri, mau nulis aah....



Pernah suatu kali, teman-teman SMA bilang mau main ke rumah. Whuaaaaaaaaaa..... asisten nyuci gosok lagi ijin seminggu. Cucian numpuk. Gosokan minggu kemarin juga. Mana rumah berantakan banget, mainan si sulung dimana-mana, remah-remah makanan nempel dilantai, minum ditumpahkan, cucian piring dan peralatan dapur masih numpuk.

"Inikah akhir perjuangan seorang sarjana?"

Begitulah, kadang saya berpikir, mengapa pekerjaan-pekerjaan upik abu ini harus saya yang melakukan? Bukankah seharusnya saat ini saya sedang di kantor, bekerja di tempat yang rapi, sambil menghadap layar komputer. Bukankah itu seharusnya perjalanan seorang sarjana.

Ah ya....
Pastilah bukan saya saja yang melakukan hal tersebut.

Bekerja atau di rumah, itu adalah pilihan seorang perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak.

Seperti yang teman saya bilang, saya pun tak ingin menghakimi mana yang lebih baik. Dulu saya bekerja, dan sekarang memutuskan untuk di rumah.

Itu pilihan yang saya ambil. Dan memang, saya sudah menyiapkan diri menghadapi pekerjaan-pekerjaan upik abu itu.

Satu hal yang penting: Ibu bahagia, anak dan suami bahagia.
Apakah ibu yang bekerja itu bahagia?
Apakah ibu yang di rumah itu bahagia?

Semua tergantung kacamata yang dipakai.

Saat Abrar, sulung saya, tidur, saya seringkali menghela nafas.
"Serasa menjadi manusia," begitu yang teman saya katakan saat bercerita tentang kesehariannya di rumah, dan merasakan 'hidup" saat anaknya tidur.

Bukan, saya tidak seperti itu. Saat Abrar tidur, saya pandangi wajahnya, begitu damai. saya berharap, Abrar bahagia saya di rumah.

Saya berharap, Suami saya bahagia karena rumah dalam keadaan "aman terkendali".