Arisan!
Tak terasa sudah lebih dari tujuh bulan kami tinggal mengontrak di RT Empat. Tak terasa juga, sudah tujuh kali pula saya membolos arisan RT. Saya hanya rajin nitip uang arisan. Beribu alasan saya buat untuk membenarkan ketidakhadiran saya: mudik ke rumah mertua, sibuk mengurus anak, dan tentu saja ada banyak hal yang lebih bermanfaat daripada ikut arisan. Persepsi saya tentang arisan masih saja sangat buruk, terlebih karena saya terlalu menghayati makna arisan di film Arisan! Ditambah dengan keluarnya film baru-baru ini, Arisan Brondong, semakin membuat phobia saja sama arisan.
Nah, alkisah, karena malu terus-menerus diingatkan, di pertemuan arisan kedelapan saya datang. Saya sudah menyiapkan mental. Inilah episode perdana dalam hidup saya yang berjudul Ikut Arisan. Pertama ikut arisan memang sangat menyesakkan dada. Saya datang terlambat, saya merasa asing, hanya beberapa gelintir saja yang saya kenal. Saya bingung, mau mengobrol apa. Untunglah, Abrar, sulung saya, menangis. Kesempatan buat ‘ngeles’ keluar ruangan dan lepas dari suasana asing itu. Hehehe. Ternyata, Abrar cuma sebentar menangis, jadilah saya masuk kembali. Tiba-tiba, seorang Ibu yang duduk tak jauh dari saya menanyakan ke seseorang sambil menunjuk ke arah saya, “Lha, ini siapa?” Sebuah pertanyaan yang menunjukkan betapa tidak eksisnya saya di lingkungan RT sendiri. Hiks, hiks, saya maluuu.......
Maka, sebagai upaya ‘balas dendam’, saya menekadkan diri untuk bisa hadir di arisan RT bulan depan. Sayangnya, tepat jamnya arisan tiba, hujan deras datang. Guntur dan kilatnya cukup menyeramkan. Air sudah menggenang. Karena tidak enak kalau kesorean datangnya, apalagi tempat arisan dekat rumah, saya tekadkan menembus hujan deras demi arisan! Hehehe.
Nah, mungkin karena saya datang paling awal dan bisa khusyuk mendengarkan perbincangan demi perbincangan, saya jadi lebih paham kronologi yang terjadi di TKP, tempat kejadian perkara. Hehehe. Hasilnya, blasss...... persepsi saya tentang arisan berubah drastis. Arisan di RT saya benar-benar mempunyai tujuan mulia, yaitu sebagai upaya “mengenal dan dikenal” ibu-ibu RT Empat. Yah, untuk kompleks perumahan yang sepi seperti ini - dengan kebanyakan ibu-ibu bekerja di luar rumah, berwirausaha, atau sibuk berkutat mengurus cucu – maka pekerjaan “mengenal dan dikenal” (tepatnya, baca : silaturahmi) adalah pekerjaan yang sangat sulit. Arisan inilah cara yang dianggap masih efektif untuk mengumpulkan Ibu-Ibu. Mungkin, sebuah hikmah juga ya ibu RT saya seorang akhwat.
Ada satu kalimat penting dalam pertemuan arisan itu. “Kepada Bu Baskoro dipersilakan membuka arisan,” kata Ibu ketua arisan. Serta merta, Ibu-ibu arisan mengarahkan pandangan ke saya. Ooh... rupanya ini trik ibu senior agar ‘orang baru’ seperti saya cepat dikenal. Sebuah ‘jebakan’, tapi jebakan yang indah. Saya terharu. Ya, untuk arisan semacam ini, terus terang saya jadi kecanduan! ***