Cukup Dua, Sayang
“Nalurinya masih ingin minum ASI, tapi dia sudah sadar harus berhenti”
Ada yang sangat mengesankan di
ulang tahun pernikahan kami ke-4. Kado yang sangat indah dan mengejutkan. Kado
ini datang dari putri kami, Arifa. Arifa bisa berhenti minum ASI tepat di ulang
tahun ke-2 versi kalender hijriyah.
Awalnya kami pesimis bisa
menyapih Arifa. Betapa tidak, Arifa sangat tinggi angka ketergantungan ASInya.
Sampai lewat masa ASI eksklusif, Arifa masih minta ASI dimanapun kapanpun.
Seperti layaknya iklan sebuah minuman, apapun makanannya, ASI minumannya.
Apapun aktivitasnya, ASI minumannya. Bagaimanapun kondisi hatinya, ASI
minumannya. Arifa sangat betah mengenyot berjam-jam, bahkan hampir dua jam
nonstop. Gaya minum ASInya pun bermacam-macam, mulai dari yang normal
(berbaring), menungging, berdiri, duduk di atas badan saya, dan gaya-gaya
kreasi sendiri yang seringkali mengundang tawa. Karena permintaan ASI yang
tinggi ini, produksi ASI pun berlimpah. Saya sendiri sudah deg-degan, menyapih dalam
kondisi ASI masih banyak, biasanya berpotensi menyebabkan dada bengkak dan
badan demam menggigil. Tapi sungguh sebuah anugerah, proses penyapihan
berhasil!
Kalaupun Menyakiti, Minimalis Saja
Ada berbagai pilihan cara
menyapih yang sudah beredar di masyakarakat.
Pertama, menyapih dengan
mengoleskan sesuatu di payudara untuk tujuan menakut-nakuti. Misalnya
mengoleskan lipstik, kunyit, brotowali, menempelkan plester, dan lain-lain. Tak
hanya masyarakat Indonesia, di belahan dunia lain pun cara ini berlaku,
misalnya saja suku Pasthun di Pakistan menakut-nakuti dengan menggunakan rambut. Bagi saya, cara ini mengandung unsur penipuan
dan pencemaran “nama baik” ASI. Saya sangat tidak sepakat. Kita mengenalkan ASI
sebagai minuman “surga” bagi anak kita, tapi mengakhirinya dengan merusak citra
menawan ASI. Apakah kita rela, yang terkenang di benak anak kita adalah ASI
yang pahit, yang menyeramkan, berdarah-darah. Cara ini sudah dilakukan oleh
nenek buyut atau paling buyut kita yang menulis membaca pun mungkin belum bisa.
Mengapa kita, yang sudah sarjana bahkan mungkin lebih tinggi lagi, masih
menggunakan cara ini?
Cara kedua, menyapih dengan
memisahkan ibu dan anak. Katanya, agar anak mudah lupa ASI. Sungguh menyedihkan
cara ini. Anak sudah disuruh berhenti minum ASI saja sangat menyakitkan
hatinya, mengapa harus berpisah dengan ibunya dalam kondisi dia tersakiti?
Sudah jatuh tertimpa tangga, ibaratnya. Dalam momen penting dalam hidupnya ini,
seharusnya ada sosok yang dicintainya di dekatnya.
Cara ketiga, membawa anak ke
orang “pintar” yang merangkap tukang pijat ibu dan anak. Di desa saya, cara ini
populer. Ibu dan anak pergi ke Nyai Haji xxx untuk dipijat dan dibacakan
doa-doa, yang ibacakan katanya diambil dari Al Quran. Di daerah lain, ada
ritual begini, si tuang pijat duduk membelakangi anak sambil membacakan
doa-doa. Tukang pijat akan mengiming-imingi kue kesukaan anak dengan
memberikannya lewat belakang. Lucu memang. Tapi saya tidak sepakat mengkaitkan
proses penyapihan anak dengan “pijat-doa” orang khusus, ada kekhawatiran
tersendiri.
Cara keempat, membiarkan anak
berhenti menyusu dengan sendirinya. Cara ini tampaknya tidak menipu dan tidak
pula menyakiti, tapi menurut saya sungguh tidak mendidik. Anak kita biarkan
terlena di zona nyaman, sementara sudah seharusnya dia pergi ke zona lain. Saya
sedih, karena saya dahulu termasuk yang
seperti ini. Saya menyusu sampai usia 3,5 tahun. Rekor yang pernah saya dengar,
adalah bibi saya, menyusu sampai usia 9 tahun! Sangat keterlaluan, menurut
saya.
Cara kelima, hamil lagi. Konon,
ASI orang hamil jadi tidak enak, makanya si kakak akan dengan sendirinya tidak
mau minum ASI. Saya tentu saja tidak sepakat. ASI masih tetap enak dan bergizi
meski ibu sedang hamil, hanya jumlahnya berkurang. Selama tidak membahayakan
janin dan ibu (seperti perut kontraksi, kepala pusing selama menyusui) dan
sudah konsultasi dengan dokter kandungan atau bidan, tidak ada larangan
menyusui saat hamil. Saya pun ketika hamil Arifa, saya tetap menyusui Abrar
yang saat itu baru 6 bulan. Setelah melahirkan, diteruskan menyusui tandem
(Abrar dan Arifa sekaligus) selama 9
bulan sampai Abrar genap 2 tahun versi Hijriyah. Bagi saya, dalam kondisi
normal, menyuruh kakak berhenti minum
ASI dengan alasan ada adik di perut, sama saja dengan menanamkan bibit-bibit
permusuhan. Saya tidak ingin si kakak merasa haknya terampas oleh si adik. Tapi
yang saya tahu, jarang ada ibu menyengaja hamil untuk menyapih si kakak. Selain
itu, karena hamil adalah pertemuan antara takdir dan ikhtiar manusia, maka
menurut saya pun cara ini tidak fleksibel dalam hal waktu.
Saya memilih cara yang menurut
saya paling aman, mengandung unsur mendidik, menyadarkan, tapi tidak
melenakannya di zona nyaman. Kalaupun menyakiti hati anak, saya ingin seminimal
mungkin. Cara apakah itu?
Puasa ASI, Hari Raya ASI
Saya memilih menyapih dengan cara
mengurangi frekuensi ASI perlahan-lahan. Saya mengistilahkannya dengan puasa
ASI. Ketika menyapih Abrar, saya menerapkan puasa ASI sejak sebulan sebelum
ulang tahun ke-2, dari shubuh sampai maghrib. Karena ketergantungan ASI Arifa
saya lihat lebih besar dari Abrar, maka saya menerapkan puasa ASI bagi Arifa
sejak dua bulan sebelum ulang tahun. Waktunya pun berbeda. Bangun tidur, jam
berapapun, saya persilahkan sahur ASI dahulu. Kemudian puasa sampai dzuhur. Di
lain pekan, saya ganti puasanya, sejak dhuhur sampai maghrib. Sebelumnya anak
diajak berkomunikasi terlebih dahulu tentang apa dan mengapa suatu saat harus
berhenti minum ASI.
Menangiskah Arifa? Tentu saja, di
sat-saat tertentu. Puasa ASI sangat melelahkan bagi si ibu, karena harus
pandai-pandai mengalihkan keinginan minum ASI ke hal lain. Setiap hari harus
menemukan cara baru, karena jika caranya monoton, anak akan bosan dan makin
tidak tertahankan keinginan minum ASInya. Bagi saya, bulan puasa ASI ini
sekaligus menjadi bulan melatih emosi saya saat mendengar tangisan Arifa yang ingin minum ASI. Butuh
kekonsistenan Ibu saat anak sudah merajuk minta ASI. Harus punya
batasan-batasan kapan anak boleh buka puasa. Saya membolehkan Arifa bolong
puasa misalnya saat Arifa tidak enak badan, perjalanan jauh, pulang kampung,
pindahan, atau saat saya sedang tidak enak badan. Di luar itu, berbagai cara
harus diupayakan agar keinginan minum ASI teralihkan. Misalnya dengan
membelikan makanan dan minuman yang disukai, mengajak bermain, menyanyi,
menari, bermain kejar-kejaran, bersepeda, olahraga, mendongeng, mewarnai,
masak-masakan, jalan-jalan di sekitar rumah, melihat semut-siput-kelinci-ayam,
mengumpukan berbagai dedaunan di sekitar rumah, bermain ke rumah kerabat,
berbelanja, ikut pengajian, jalan-jalan ke mall, piknik ke tempat wisata, dan
lain-lain. Saat puasa ASI itu, ternyata Arifa suka digendong kalau sudah
mengantuk atau bosan bermain. Mungkin karena sejak bisa berjalan (13 bulan)
Arifa lebih sering berjalan daripada digendong.
Setelah melewati bulan puasa ASI,
sehari sebelum ulang tahun adalah hari raya ASI untuk Arifa. Arifa boleh minum
ASI sepuasnya. Kami juga meyediakan berbagai macam kado yang sedang
diminatinya. Kado itu sengaja dibeli sore hari, Arifa yang memilih kadonya,
sekaligus jalan-jalan agar di malam pertama penyapihan hati Arifa sedang gembira.
Syukuran kecil-kecilan pun diadakan setelah jalan-jalan, sembari mengingatkan
Arifa tentang “Janji Dua Tahun”.
Janji Dua Tahun
Komunikasi tentang keharusan
berhenti minum ASI sangat penting. Perlu jauh-jauh hari mengatakan hal
tersebut. Kami sekitar setengah tahun sebelum ulang tahun kedua, sudah membuat
janji umur dua tahun untuk Arifa. Begini bunyinya : Janji Dik Arifa/ Umur dua tahun/ Tidak Boleh Minum Ummi/ InsyaAllah
InsyaAllah/ Yes Yes Yes. Hal itu diucapkan dengan menggerakkan tangan
sebagai penjelas makna kalimat tersebut. Awalnya, Arifa menjawab Iya. Namun
setelah memahami makna kalimat tersebut, Arifa lebih sering menjauh atau
mengatakan “Nggak”. Tapi saya senang dengan berubahnya jawaban Arifa. Itu
karena artinya Arifa mulai paham makna janji tersebut. Saya meminta keluarga
dan kerabat dekat untuk ikut serta mengingatkan janji dua tahun. Memang,
hasilnya sampai sekarang Arifa sangat hafal janji tersebut. Tentunya tak
sekedar hafal, tapi Alhamdulillah paham.
Memilih Waktu Pertandingan
Saya kadang mengibaratkan
penyapihan semacam pertandingan. Pertandingan hati nurani Ibu. Kuatkah Ibu
mendengar tangisan anak yang minta ASI? Jika kuat, demi kebaikan sang anak,
selama tidak membahayakan anak, itu artinya menang. Jika tidak kuat, hanya karena sang ibu tidak
mau menanggung letih karena anak rewel, itu artinya kalah.
Menjelang malam-malam penyapihan
pun tak ubahnya menjelang malam-malam menunggu kelahiran. Deg-degan, apakah
berhasil atau tidak. Maka saya memastikan kondisi saya, anak-anak, dan keluarga
besar siap secara fisik dan psikis, karena malam penyapihan bisa menjadi malam
begadang untuk seisi rumah. Tentu saja, sebenarnya lebih enak saat menyapih
Abrar, karena saya dan suami masih tinggal bersama (satu rumah hanya kami dan
anak-anak). Ini memudahkan untuk tetap komitmen dengan penyapihan apapun yang
terjadi (selama tidak membahayakan anak). Nah, sedangkan saat menyapih Arifa,
saya dan anak-anak pindah sementara ke rumah orangtua dengan komposisi yang
kompleks (Simbah Putri, Simbah Kakung, Pakdhe, Budhe, jumlahnya 10 orang).
Tentu saja perlu mengkomunikasikan kepada semua tentang aturan yang mau saya
terapkan saat menyapih. Benar saja, ini sangat berguna saat penyapihan
berlangsung.
Begadang Ayo Begadang
Adzan maghrib tanggal 16
Dzulqoidah 1433 H menjadi penanda dimulainya penyapihan Arifa. Sampai pukul
22.00, Arifa masih asyik bermain dengan mainan hadiah umur dua tahun. Arifa
sangat suka dengan mainan yang menyibukkan dirinya seperti mencetak aneka
bentuk dari lilin-lilin berwarna. Karena kelelahan, Arifa hanya menangis
sebentar, minta gendong, tertidur di gendongan. Saya pikir aman malam ini.
Ternyata, tengah malam terbangun minta ASI. Saya harus menggendongnya selama
Arifa menangis, sampai tertidur. Cukup lama rewelnya, hampir dua jam.
Ternyata, puncak rewelnya adalah
malam ke-3 dan ke-8. Mungkin ibaratnya, “sakau” ASInya malam itu. Arifa
menangis super kencang. Tenaganya sangat kuat, tidak bisa digendong. Jika
digendong, badannya melintir kemana-mana. Arifa inginnya lari ke dapur, tapi
tidak jelas keinginannya. Semakin dituruti apa yang dikatakan sambil menangis,
semakin panjang permintaan dan tangisnya, juga semakin memancing emosi.
Misalnya, Arifa mengatakan (sambil menangis kencang), minta susu di botol
gambar bayi. Selesai dibuatkan, minta dipindah ke botol gambar kuda. Terus permintaanya,
sampai di botol ke-4, Arifa membanting
botol dan susunya muncrat membasahi wajah saya. Nah, dalam kondisi seperti ini,
sangat potensial membuat ibu marah. Saya memilih berhenti menuruti permintaan
Arifa dan membaringkannya di tempat tidur. Keluarga besar tidak tega melihat
tangis kencang Arifa, tapi saya meminta mereka tidak ikut campur menangani
tangis Arifa.
Arifa tipikal yang tidak suka
dikasihani. Jika keluarga besar men”cup-cup-cup” agar berhenti menangis,
tangisnya justru semakin kencang. Tidak pula bisa dikerasi. Jika dibentak,
makin kencang pula tangisnya. Jadi lebih baik dipersilahkan mengekspresikan
kesedihan dan kekesalannya dengan berbagai gaya menangis. Saya persilahkan
menangis, asal tidak pergi ke dapur atau kamar mandi dan tidak membawa benda
atau mainan yang membahayakan. Saya katakan begini: “Dik Arifa silahkan
menangis, nggak papa, Ummi temenin sambil ngaji di sini”. Setelah tangisnya
agak mereda dan bisa diajak bicara, barulah saya tanya Arifa ingin apa.
Ada yang lucu. Ternyata Arifa
menginginkan membuat sendiri minumannya, di gelas Simbah, susu formula dicampur
air teh. Waow....teh tarikh! Minumnya disuapi dengan sendok, sambil digendong
dengan menggunakan selendang Simbah Putri. Setelah selesai minum, Arifa
bertanya banyak hal, kemudian minta tidur sembari didongengi buku barunya dan
dipijiti dengan minyak tawon. Memang permintaannya sangat detail, tapi selama
diucapkan secara sadar (tidak sambil menangis), berarti memang itulah hal yang
diinginkannya. Itulah yang membuatnya nyaman ketika dilarang minum ASI.
Hal yang lucu lagi adalah Arifa
pernah terbangun jam 2 pagi. Super rewel seperti biasa. Saya pun kembali
mempersilahkan Arifa mengeskpresikan kesedihan dan kekesalannya. Setelah tangis
agak reda, baru saya tanya apa yang diinginkannya. Arifa ingin bemain
menggunting dan menemel gambar di buku barunya. Saya menemaninya mengkhatamkan
buku gunting tempelnya, sampai sekitar pukul 04.30, sembari menjawab
pertanyaan-pertanyaan seputar gambar-gambar yang dilihatnya. Malam-malam berikutnya,
Arifa selalu ingin menggunting dan menempel gambar menjelang tidur.
Setiap tangis berbeda-beda
keinginannya. Kadang tengah malam, minta makan nasi, hanya nasi tidak mau lauk.
Kadang minta lauk, hanya lauk (ayam goreng, telur rebus), tidak dengan nasi.
Kadang minta roti dioles selai kacang bertabur meises. Kadang minta teh manis
hangat atau sari kurma di gelas khusus. Tapi yang lebih sering, minta digendong
sembari dikipasi.
Evaluasi dari menyapih Arifa,
seharusnya jadwal puasa ASI ditambah pada jam-jam tertentu di malam hari. Sehingga
saat penyapihan, rewel di malam hari dapat berkurang karena sudah pernah
latihan.
Tahan Godaan Menyusui, Rayuan “Orang Pintar”
Kata orang, biasanya anak yang
disapih hanya rewel 2-3 hari, paling lama seminggu. Memang, Abrar pun hanya
rewel dua malam. Tapi Arifa sampai dua minggu (siang dan malam), masih relatif
rewel, walaupun puncaknya hanya di malam ke-3 dan ke-8. Lelah karena kurang
tidur dan menuruti ini-itu. Ada godaan dari dalam diri untuk kembali menyusui,
agar Arifa tidur nyenyak dan saya pun bisa tidur. Tapi saya mencoba tetap
komitmen. Saya berpikir, mungkin ini karena ketergantungan ASInya sangat
tinggi.
Bisik-bisik tetangga mulai
terdengar. Maklum, kami tinggal di desa, semua saling kenal. Mendadak Arifa
jadi terkenal, karena tangisnya. Tapi mereka memaklumi karena hampir semua anak
yang disapih akan rewel. Mereka berbaik hati, menyarankan mengikuti yang banyak
dilakukan ibu-ibu di desa ini, menyapih dengan perantara Nyai Haji XXX, yang
dikenal sebagai “orang pintar”. Saya sampaikan, sudah saya bawa ke orang
pintar, setiap hari malah, namanya “Nyai Isti Prihandini, S.Sos”, hehehehehe.
Ada-ada saja ya.
Tanpa Bekal, Kurang Akal
Menyapih tentu saja perlu bekal.
Tentu saja perlu membaca artikel-artikel tentang penyapihan. Selain itu
persediaan makanan, minuman, dan mainan pun perlu banyak. Ini penting karena
saya butuh banyak ide untuk mengalihkan energi dan perhatian Arifa saat ingin
minum ASI.
Masa puasa ASI bisa menjadi masa
observasi terhadap hal-hal yang disukainya. Ini yang saya sediakan saat
menjelang masa menyapih. Jika keinginan minum ASI muncul, saya tawarkan
makanan, kue, atau minuman yang disukai. Atau saya ajak bermain dan membaca buku-buku
yang baru dibelinya.
Ada yang lucu. Saya membelikan
buku anak berjudul wortel. Sebenarnya agar kedepannya Arifa suka dengan wortel,
apalagi dalam buku itu ada gambar kelinci lucu. Ternyata, Arifa malah terpukau
dengan gambar anak kecil yang sedang digendong ibunya di dalam buku itu. Malah Arifa jadi makin suka minta gendong.
Hmmmmh....
Digendong Kemana-Mana
Hal yang paling sering diinginkan
Arifa dalam dua minggu pertama penyapihan adalah digendong. Permintaan
digendong muncul disaat-saat yang sama ketika masih minum ASI, yaitu saat mau
tidur, terbangun di tengah-tengah tidur, bangun tidur, dan ketika tidak ada
“kerjaan” alias bosan bermain. Arifa minta digendong dengan posisi tidur sambil
jalan-jalan di dalam rumah. Lama, kadang bisa hampir dua jam digendong. Setiap
sudah tidur digendongan, saya taruh di kasur, akan terbangun. Baru setelah
benar-benar puas digendong, Arifa mau turun.
Saya tak ingin ini menjadi
kebiasaan baru Arifa. Maka, memasuki pekan ketiga, saya mulai mengurangi
frekuensi gendong secara bertahap. Di waktu tertentu saya menuruti permintaan
gendongnya. Di waktu lain, saya mempersilahkan Arifa menangis karena tidak
boleh gendong.
Syukur Alhamdulillah, Arifa mulai
bisa tidur tanpa digendong terlebih dahulu. Saat terbangun di tengah malam pun,
hanya saya belai-belai lagi, bisa kembali tertidur.
Ohya, awalnya setelah disapih
Arifa tidak mau melihat saya mencuci atau mengerjakan pekerjaan domestik
lainnya. Walau sedang asyik bermain, begitu melihat saya mulai mencuci
misalnya, Arifa minta gendong. Hal-hal seperti ini yang mulai saya abaikan di
pekan ke-3 penyapihan. Saya sampaikan bahwa selain bermain dengannya, mencuci
dan membersihkan rumah juga perlu untuk kenyamanan Arifa juga. Kadang, Arifa
paham.
Waspada Ibu Jatuh Sakit
Berdasarkan artikel dan
cerita-cerita, biasanya ibu yang menyapih akan mengalami pembengkakan payudara.
ASI penuh tapi tidak boleh dikeluarkan, sehingga dada kencang dan sakit walau
hanya tersenggol sedikit. Kadang, si ibu akan menggigil kedinginan atau demam
selama seminggu. Saya mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi. Hari-hari
pertama menyapih, saya cuti dari pekerjaan domestik. Saya fokus menyapih Arifa.
Jika Arifa tidur, segera saya ikut tidur. Intinya adalah saya menghemat energi
sehemat-hematnya, agar saat Arifa butuh saya, kondisi badan saya tidak
kelelahan. Memang, payudara menjadi kencang dan sakit, tapi hanya dua hari.
Hanya saya kompres dengan air hangat. Setelah itu normal kembali. Alhamdulillah
tidak sampai menggigil atau demam.
Dukungan semua orang
Menyapih bagi saya sangat berat.
Butuh dukungan, semua orang. Butuh lingkungan yang mendukung. Bersyukur, meski
suami jauh, tapi dukungannya sangat dirasakan. Keluarga besar suami, keluarga
besar saya, juga sangat membantu keberhasilan menyapih ini. Tentu saja,
dukungan sulung saya. Abrar yang baru 3 tahun 3 bulan sering mengatakan ke
adiknya begini, “Dede Lifa, Umul dua tahun Mas Abaw nggak minum Ummi lho, telus
dapat hadiah dali Ummi Abi”. Oh....thanks Abrar... (Hmmm, tapi ujung-ujungnya
minta kado juga meski tidak ulang tahun :p)
Nalurinya Masih Ingin ASI, Tapi...
Suatu malam, di pekan kedua
menyapih, Arifa yang sedang tidur tiba-tiba membuka kancing
baju saya. Saya,
karena sedang tidur, malah ikut membantu membukakan kancing yang lain. Seperti
saat masih menyusui, Arifa saya peluk agar enak menyusu. Baru sebentar
mengenyot, tiba-tiba saya terbangun, dan sadar bahwa Arifa sudah saya sapih.
Saya menarik badan saya menjauh dari Arifa dan mengatakan bahwa sudah tidak
boleh minum ASI. Arifa yang juga terbangun, tidak marah atau menangis diberi
lampu merah berhenti menyusu. Mungkin nalurinya masih ingin menyusu, tapi Arifa
sudah sadar harus berhenti. Terkadang, Arifa mengatakan bolehkah hanya melihat
atau memegang tempat ASInya saja, tidak minum. Saya sampaikan, boleh, tapi tidak
lama-lama karena Arifa sudah besar.
Semua itu Pilihan
Saya pikir, menyapih adalah
pilihan. Dalam Al Quran hanya “dianjurkan” menyusui sampai dua tahun, bukan
diwajibkan. Tidak ada dosa jika kurang atau lebih dari dua tahun. Di dunia
kesehatan pun, kata yang digunakan adalah “dianjurkan”, bukan “diwajibkan”. Namun,
menurut saya, pasti ada hikmah besar mengapa dalam Al Quran dianjurkan hanya
menyusui sampai dua tahun.
ASI adalah hal yang sangat
dicintai anak. Jika umur dua tahun anak dilatih untuk behenti minum ASI,
artinya kita melatih anak berani kehilangan sesuatu yang dicintainya. Perlu pengorbanan
menahan keinginan minum ASI. Ya, saya berharap, dengan disiplin menyapih, dapat
melatih anak berkorban kehilangan
sesuatu yang dicintainya.
Menyapih, dengan cara Puasa ASI, bagi
saya adalah hal yang berat dan melelahkan. Butuh manajemen khusus agar badan
dan emosi tetap sehat. Jadi menurut saya, menyapih tepat di usia dua tahun juga
melatih sang ibu agar mau berkorban demi kebaikan sang anak, agar sang ibu berani
mencintai kelelahan.
Ya, minum ASInya cukup sampai
umur dua tahun saja ya Sayang....
Tegal, 19 Oktober 2012