PhD (Pakistan Housewife's Diary) : Lewat Tengah Malam
Musim semi tiba, terasa hangat sekitar pertengahan Februari. Semakin hari, suhu memanas. Tertinggi yang pernah saya rasakan adalah 41 derajat celcius. Kabarnya, musim panas nanti bisa mencapai 52 derajat celcius. Saya tidak mau membayangkan! Di musim semi ini saja saya sudah mempersiapkan berbagai "senjata" seperti rechargeable fan, handuk basah, bedak menthol, es batu, kerai, dan pindahan rumah ke lantai dua. Ini adalah hasil wawancara dengan penduduk sekitar bagaimana menghadapi musim panas di Lahore. Jika anak-anak kepanasan, saya selimuti dengan handuk basah, sesuai tips dari kawan baik saya, Bu Zulfa.
Tetapi jangan membayangkan sepanjang hari panas. Cuaca tidak menentu, kadang mendung sekali tapi hanya membawa hujan sedikit. Kadang panas dari shubuh hingga malam. Awalnya panjang malam 10 jam, semakin hari semakin pendek. Saat ini saya hitung-hitung gelap hanya 9 jam. Jam 5 pagi sudah terang benderang. Di malam hari, suasana bisa sangat gerah. Untungnya kami tinggal di lantai dua. Balkon kami tutup dengan kerai, semua pintu dan jendela dibuka, dan kami pun tidur dengan membawa handuk basah.
Di suatu tengah malam, tiba-tiba saya merasa sangat gerah. Saya heran, pintu sudah dibuka kok sekarang tertutup. Sambil setengah mengantuk, saya mengomeli suami saya "Abi, kenapa pintu ditutup sih? Ummi gerah banget nih". Suami saya terbangun, "Lho, Abi nggak nutup kok?". Saya pun berjalan ke arah pintu. Saya buka pintunya, tiba-tiba seperti ada kekuatan yang luar biasa yang menarik pintu untuk tertutup kembali. Saya buka lagi, saya tidak bisa menahannya. Saya julurkan kepala, waaaaah........badai.....angin super kencang datang. Saya langsung teriak memanggil suami saya. Lampu balkon pecah, cuaca makin gelap dan menyeramkan. Kerai yang tergantung di balkon berkibar-kibar, tali penggantung lepas sebelah. "Ummi cepat pakai jilbab, bantu Abi nahan kerai!", kata suami saya berlari ke arah kerai. Saya dan suami saya sekuat tenaga menarik tali kerai agar kerai tidak terbang. Diikat sekenanya, sekencang-kencangnya, diganjal sana-sini dengan peralatan seadanya. Saya melihat debu berputar-putar di depan rumah Nano. Dedaunan sangat ribut. Uncle Abdulhaq, penjawa tower Ufone, tampak sibuk seorang diri memindahkan barang-barang dan charpainya.
Seketika tenang. Kami pun tidur kembali. tiba-tiba suami saya bertanya, "ada jemuran nggak di atas?". Oh, iya, ada. Tapi saya melarang keras untuk naik ke atap menyelamatkan jemuran, sayang-sayang badannya. Suami saya bersikeras mengangkat jemuran. "Bagaimana kalau jemuran kita terbang?", kata suami saya. Hahh, saya langsung membayangkan jemuran saya, meski dijepit, tapi bisa saja terbang ke atap rumah Bu Josephine, atau ke dapur Ayesha, nyangkut di tower, atau malah ke kandang sapi Baba Nazir. Ayo, akhirnya kami berdua naik ke atap. Wuaaaaa.....serasa badan-badan mungil ini mau diterbangkan angin. Syukurlah, jemuran selamat!.
Tetapi jangan membayangkan sepanjang hari panas. Cuaca tidak menentu, kadang mendung sekali tapi hanya membawa hujan sedikit. Kadang panas dari shubuh hingga malam. Awalnya panjang malam 10 jam, semakin hari semakin pendek. Saat ini saya hitung-hitung gelap hanya 9 jam. Jam 5 pagi sudah terang benderang. Di malam hari, suasana bisa sangat gerah. Untungnya kami tinggal di lantai dua. Balkon kami tutup dengan kerai, semua pintu dan jendela dibuka, dan kami pun tidur dengan membawa handuk basah.
Di suatu tengah malam, tiba-tiba saya merasa sangat gerah. Saya heran, pintu sudah dibuka kok sekarang tertutup. Sambil setengah mengantuk, saya mengomeli suami saya "Abi, kenapa pintu ditutup sih? Ummi gerah banget nih". Suami saya terbangun, "Lho, Abi nggak nutup kok?". Saya pun berjalan ke arah pintu. Saya buka pintunya, tiba-tiba seperti ada kekuatan yang luar biasa yang menarik pintu untuk tertutup kembali. Saya buka lagi, saya tidak bisa menahannya. Saya julurkan kepala, waaaaah........badai.....angin super kencang datang. Saya langsung teriak memanggil suami saya. Lampu balkon pecah, cuaca makin gelap dan menyeramkan. Kerai yang tergantung di balkon berkibar-kibar, tali penggantung lepas sebelah. "Ummi cepat pakai jilbab, bantu Abi nahan kerai!", kata suami saya berlari ke arah kerai. Saya dan suami saya sekuat tenaga menarik tali kerai agar kerai tidak terbang. Diikat sekenanya, sekencang-kencangnya, diganjal sana-sini dengan peralatan seadanya. Saya melihat debu berputar-putar di depan rumah Nano. Dedaunan sangat ribut. Uncle Abdulhaq, penjawa tower Ufone, tampak sibuk seorang diri memindahkan barang-barang dan charpainya.
Seketika tenang. Kami pun tidur kembali. tiba-tiba suami saya bertanya, "ada jemuran nggak di atas?". Oh, iya, ada. Tapi saya melarang keras untuk naik ke atap menyelamatkan jemuran, sayang-sayang badannya. Suami saya bersikeras mengangkat jemuran. "Bagaimana kalau jemuran kita terbang?", kata suami saya. Hahh, saya langsung membayangkan jemuran saya, meski dijepit, tapi bisa saja terbang ke atap rumah Bu Josephine, atau ke dapur Ayesha, nyangkut di tower, atau malah ke kandang sapi Baba Nazir. Ayo, akhirnya kami berdua naik ke atap. Wuaaaaa.....serasa badan-badan mungil ini mau diterbangkan angin. Syukurlah, jemuran selamat!.