Gula Kelapa, Cinta Nenek, Bakti Anak (Sepotong Cerita Idul Fitri di Negeri Pakistan)
Lebaran, apalagi idul fitri,
biasanya sama artinya berkumpul dengan keluarga besar, kedatangan sanak saudara
yang silih berganti, mendengar takbir yang menggema di segala penjuru, dan
tentu saja makanan khas lebaran. Tapi lebaran kemarin sungguh sangat berbeda. Tidak
berkumpul dengan keluarga besar, tentu saja memicu linangan air mata. Pun di malam lebaran, tak ada takbir di
masjid-masjid, apalagi takbir keliling naik truk. Beberapa kali saya bertanya
kepada suami “Ini bener malam lebaran?”. Suami menjawab dengan jawaban yang
sama, “Iya, emang sepi-sepi aja di sini.” Ah, tidak, saya belum merasa ini
malam lebaran. Maka saya mengajak suami dan anak-anak keluar rumah, menaiki
rikshaw Uncle Ishak, melihat-lihat suasana malam lebaran di Lahore, Pakistan.
Ternyata memang tidak ramai. Hanya lapak-lapak dadakan di dekat
taman-taman yang menjadi penanda ini
malam lebaran. Lapak penjual gelang-gelang dan aneka macam perhiasan. Hanya
itu. Satu lapak dipadati pembeli. Oh, ternyata para wanita, tua, muda, kecil
memakai gelang-gelang dan aneka macam perhiasan di hari lebaran. Mehndi, lukisan tangan dari serbuk daun
berwarna, juga tidak dilupakan. Jika sering menonton film india, di mana
artisnya menari dengan lukisan di tangan, gelang-gelang sepanjang jengkal,
hidung beranting, kalung, hiasan di dahi juga rambut, macam itulah
tetangga-tetangga saya di hari lebaran. Tua, muda, kecil. Bedanya, mereka
mengenakan shalwar khamis. Celana
panjang, baju panjang, dan dupata atau
kerudung panjang dan lebar. Motif baju mereka sangat ramai, dari kain lawn, karena lebaran bertepatan dengan
musim panas. Anak-anak kecil berlarian, wajah dirias, menenteng tas kecil
kemana-mana. Aih...lihatlah isi tas mereka... banyak sekali paisa, rupee demi rupee yang mereka
kumpulkan dari Uncle, Anti, Mamo, Dada, Dadi, Nano, Nani, Baba, Mama, dan
seterusnya. Kepada sanak famili mereka akan mengucap dengan sumringah “Eid
Mubarak”, dan berharap akan mendapat paisa.
Lima puluh rupee baru, melimping, baru keluar dari bank, itu cukup.
Kemudian anak-anak kecil akan memadati toko-toko di sekitar rumah, membeli
permen, keripik, wafer, nimko, dan minuman soda dingin. Mereka mengerumuni
Uncle penjual balon, menanyai harga macam-macam jenis balon, dan membeli yang
sesuai banyaknya paisa di tas mereka.
“Hari lebaran harus bahagia!”, itu
kalimat wajib bagi saya. Maka di malam lebaran itu kami menuju Doce Bakery,
memborong aneka sweet dan bihun untuk
membuat sawia. Manisan pakistan dan
bihun campur susu manis hangat adalah khasnya lebaran di sini. Anak-anak, meski
tidak suka sweet, tapi girang melihat
orangtuanya menenteng berplastik-plastik keluar dari toko kue. Sesampai di
rumah, saya membagi-bagi sweet ke sepuluh kotak, tiap kotak dimasukkan ke satu
kantong beserta satu botol besar coca
cola, minuman wajib orang-orang sini di musim panas. Memang di sini katanya tidak ada tradisi mengantar sweet dan minuman soda ke tetangga, tapi
sebagai orang Indonesia, rasanya kurang mantap jika lebaran tidak mengantar
suatu makanan ke tetangga. Tidak ada ketupat dan gulai, karena saya tidak bisa
memasaknya. Saya hanya akan mencoba memasak chicken
biryani, nasi khas sini, di makan sambil menumpahkan dahin, yoghurt tawar, untuk meminimalisir pedasnya. Itu hanya untuk
keluarga, saya belum percaya diri mengirim untuk tetangga.
Suami mengunduh rekaman takbiran
dari internet, distel sepanjang malam lebaran, agar saya tidak terus menerus
mengeluh betapa sepinya lebaran di sini. Saya mencicipi sweet demi sweet. Tiba-tiba saya merasakan sesuatu dalam dada
saya. Lidah saya lamat-lamat mengunyah. Mirip! Saya kunyah-kunyah lagi. Hampir
sama! Sweet berwarna pink di tangan
saya rasanya hampir sama dengan kue gula kelapa kesukaan saya waktu kecil.
Rasanya hampir sama bagi saya. Warnanya sama. Hanya bentuknya yang berbeda.
Dada saya bergemuruh. Saya teringat suatu memori luar biasa, kenangan tidak
terlupakan.
Jauh, jauh, jauh dari tempat saya
duduk sekarang, duduklah seorang nenek di pintu rumahnya yang berhadapan dengan
pintu rumah anaknya. Rambutnya memutih, digelung. Badannya sudah membungkuk.
Kebaya dan jaritnya sudah tak baru lagi. Hari itu masih pagi. Tiba-tiba datang
seorang cucunya, sambil menangis. “Emaak....Emaaak.....”. Dia mencari ibunya.
Dengan suaranya yang sudah tida merdu, dia menjelaskan bahwa ibunya sedang
mencuci pakaian di sungai. “Emboook..., “ dia memanggil nenenya, “Emaak...Emaaak....”.
Cucu itu menarik-narik tangan neneknya, minta diantar ke ibunya. Maka, sambil
terbungkuk-bungkuk, dia menggandeng cucunya menuju sungai.
Belumlah sampai di sungai, si
cucu berhenti. Ada warung engklek,
penjual sayur keliling sekaligus jajanan pasar. Tanpa si cucu meminta, sang
nenek sudah mengeluarkan receh dari bentingnya.
Seratus dua puluh lima rupiah. Besar sekali waktu itu. Dapat lima kue. Dua gula
kacang, tiga gula kelapa. Oh, gula kelapa. Si cucu senang sekali. Sudah tidak
ada air matanya.
Hingga sampailah mereka di suatu
sungai kecil. Airnya masih jernih waktu itu. Tampak seorang perempuan yang tak
muda lagi, tanpa ada rona mengeluh, mencuci segunung pakaian. Mencuci pakaian
anak-anaknya yang masih kecil-kecil dan ibunya yang sudah renta. Si cucu
menungguinya sambil makan gula kelapa, sementara sang nenek duduk di atas batu
sambil terkantuk-kantuk.
Saya menggigit sweet itu lagi, lagi, dan lagi. Kemudian
menangis, menangis, dan menangis. Sang nenek berlimpah cinta itu, adalah nenek
saya. Cucu manja itu, adalah saya. Perempuan yang tak muda lagi itu, yang
bercucuran bakti pada ibunya itu, adalah ibu saya.
Gula kelapa adalah kenangan pertama
dan terakhir yang saya ingat tentang nenek saat masih hidup. Menurut ibu saya,
nenek meninggal saat usia saya masih jauh dari empat tahun. Kakek saya, sudah
lama meninggal. Nenek dan Kakek dari Ayah saya, juga sudah lama tidak melihat
dunia. Sungguh singkat sekali mengenal nenek, tapi sungguh manis. Sugguh,
pastilah nenek saya adalah perempuan yang hangat dan ceria, penuh cinta pada
cucu-cucunya. Pernah, dahulu kala, saya bermimpi tentang nenek saya. Nenek
tampak sangat cantik, muda, segar. Mengenakan gaun putih yang indah. Duduk di
ranjang pengantin, bunganya banyak sekali. Nenek senyum-senyum. Kata ibu saya,
dahulu kala, “Ooh....artinya Embok masuk surga.....”. Semoga benar, semoga
benar.
Saya hendak menangis lagi, jika
saja anak-anak saya tidak mengagetkan saya dan minta didongengi sebelum tidur.
Maka, inilah untuk yang pertama kali saya bercerita dengan bangga tentang nenek, Simbah Buyut anak-anak. Namun, saya tidak kuat bercerita sampai tuntas, karena
sudah menangis sesenggukan. “Semoga kalian bisa menjadi cucu yang membanggakan
ya Nak,” hanya kalimat itu yang kemudian mengantar anak-anak saya tidur lelap
di malam lebaran.