PHD: Antrilah di Kasir
Salah satu ciri khas negara berkembang adalah rapuhnya budaya antri. Suatu siang, saya sedang siap di depan kasir Decent Departemental Store. Tiba-tiba, seorang gadis berpakaian modern (baca: menanggalkan dupatha; kerudung khas Pakistan) nyelonong ke depan kasir, membawa beberapa biskuit. "Bhai, jaldi-jaldi", kata dia, sambil menaruh biskuit langsung di depan mesin kasir sambil mengatakan bahwa dia sedang buru-buru.
Kesel saya, pastinya. Tapi ya sudahlah, toh dia cuma 5 bungkus biskuit sedangkan saya sekeranjang. Begitu pikir saya. Lho...tapi kemudian dia mengeluarkan nota belanja. Rupanya dia belanja kosmetik juga. Waduuuh! Lebih menyebalkan lagi, ada kesalahan antara si gadis dan kasir terkait barang yang dibeli dan dicatat mesin. Singkat cerita, saya menunggu cukup lama proses penyelesaian masalah itu.
Si gadis berpakaian modern yang sikapnya tidak modern itu akhirnya keluar. Giliran saya. Ups! Seseorang berpakaian gamis hitam dan cadar hitam hendak nyelonong lagi sambil menyodorkan sebungkus belanjaan. Saya langsung tegas, menepuk pundak dia, dan memberi isyarat saya antrian pertama. Dia rupanya kesal, tapi saya rasa perlu memberi pelajaran tentang antri.
Rasanya, bukan sekali ini saja saya menegur orang yang nyelonong ambil antrian. Di Indonesia, sering juga saya menemukan orang-orang ajaib yang tidak mau antri.