Pakistan Houswife's Diary : Ratapan Anak Tiri dan Ibu Peri

Judulnya mirip sinetron Indosiar. Tapi ini sebenarnya cerita tentang tetangga baru, di ground floor. Ibu, Bapak, anak kandung dan anak tiri.

Heemm, awalnya saya merasa ada yang tidak wajar. Entah bapaknya, ibunya, atau anaknya. Atau mereka bertiga. Atau malah saya yang tidak wajar. Akhirnya, tampaknya yang terakhir itu yang benar. Saya yang tidak wajar, karena terlalu memikirkan orang yang tidak ada urusannya dengan saya.

Ketika saya bercerita ke seseorang tentang kegalauan hati ini melihat keluarga di bawah rumah saya, ujung-ujungnya seseorang itu menyuruh sebaiknya saya bekerja, mumpung anak-anak sudah sekolah. Kerja. Ya, itu kata yang indah. Dengan bekerja saya tidak akan "menganggur", sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan ratapan anak tiri itu. Dan yaaa.... memang mungkin saya tampak seperti pengangguran, meski dengan sederet pekerjaan rumah.

Burukkah menjadi housewife? Orang memandang rendah. Tidak, saya tidak pernah memandang  seperti itu sebenarnya. Oh, tapi kadang saya berpikir, saya berlindung ke status saya sebagai houswife agar saya tidak perlu menampakkan kelemahan saya, yaitu tidak bisa bekerja dan menghasilkan uang. Jadi saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah itu benar?

Lho, kok malah membahas housewife dan kerja. Saya paling malas dengan bahasan ini. Ini jadul sekali. Yang jelas, saya tidak suka dengan housewife yang sombong dan ibu bekerja yang sombong.

Saya sempat bak menjadi ibu peri untuk anak tiri yang habis "dianiaya" ibunya. Saya mengajaknya bicara, tertawa, mewarnai, dan menyanyi.

Tapi setelah dua hari menjadi ibu peri, saya merasa kehadiran anak tiri dan orangtuanya menganggu kehidupan saya. Setiap hari mendengar dan melihat pemandangan aneh. Saya bertanya ke teman saya, apakah normal ibu tiri kejam? teman bilang, normal.

Well, mungkin itulah sisi gelap Pakistan. Ketika saya melihatnya aneh, justru orang pakistan melihat saya yang aneh. Karena mungkin hubungan tidak harmonis  ibu tiri dan anak adalah normal di Pakistan. Saya aneh karena memandang itu hal yang tidak normal.

Saya tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tapi saya perlu mencegah keburukan terjadi di rumah yang satu atap dengan saya. Silaturahim, mungkin itu kuncinya. Mengobrol sebentar dengan ibunya dengan membawa sepiring makaroni goreng. Menyapa sebentar saat menerima antaran nasi daal. Selalu tersenyum, selalu menyapa jika bertemu. Menyapa Mama, Baba, juga kedua anaknya.

Rasanya, mereka dikirim dalam kehidupan saya agar saya tidak mudah menghakimi perilaku orang, tanpa memahami kondisi mereka.

Rasanya.... sulit dipercaya.... jika si ibu tiri itu ternyata sangat ramah pada saya. Terkadang, tak tampak rona jahat dia.