Ala Bisa Karena Biasa, Tak Betah di Islamabad Karena Biasa di Lahore

Kalau ibarat film, maka kamera menuju pada sebuah gerbang sekolah yang dibuka. Anak-anak balita berseragam musim panas berebut keluar. Ada yang disambut Ayahnya, ada yang disambut Kakeknya, ada yang disambut teriakan sopir riksha (bajaj) "jaldi-jaldi....ajo ajo....". Sebagian sudah dengan tenang digandeng para Ibu. Semua sama, anak-anak kecil itu tak ada yang tertutup mulutnya. Semua ingin bercerita.

Kemudian kamera fokus pada seorang Ibu dan anak dengan mata dan hidung paling berbeda. Sang Ibu menyeberang jalan, di jalan yang penuh mobil tua suzuki mehran, van antar jemput, rikshaw, sepeda motor merk honda tahun 70-an, juga gerobak-gerobak keledai yang penuh muatan macam-macam. Sesekali ada mobil bagus Toyota Corolla melintas. 

Sang Ibu dan anak berjalan bergegas di tepian jalan yang ternaungi atap-atap bangunan. Sang anak melepas jilbab tipisnya. Sang Ibu memberikan topi musim panas dan kaca mata hitam. Sebuah mobil tua warna putih mengklakson dan berhenti. "Come!"

Sang Ibu dan anak masuk, duduk di depan. Si pengemudi adalah Maham Mama, orangtua murid.
"Very hot!"

Betul. Mungkin suhunya saat itu 45 derajat celcius. Meski nebeng mobil hanya tiga menit, tapi sudah sangat berarti untuk keselamatan kepala. 

Sebuah sepeda motor hampir menabrak mobil tua. Maham Mama marah, kemudian mengumpat dengan bahasa Inggris tapi  aksennya sangat Pakistan.
"Saya tidak suka Lahore! Semrawut, macet, orang-orangnya tidak disiplin! Saya mau pindah ke Islamabad"

Sebenarnya sang Ibu itu mau mendebat "Ini belum seberapa semrawut dibanding sebuah kota di negara saya!", tapi mobil sudah sampai di kampus motessori, menjemput anak-anak prep-class.

*************************************************()

Lain waktu sang Ibu mengobrol dengan tetangga, Mariam, yang suaminya mendapat pekerjaan di Islamabad.
"Kenapa kamu tidak menetap di Islamabad? Bukankah itu kota yang indah?", saya bertanya.
"Saya tidak bisa. Cukup dua bulan saja, saya tidak kuat. Saya minta suami ditransfer pindah ke HBL cabang Lahore"
"Why?"
"Karena....karena Islamabad.... sepi....seperti kota mati di malam hari", kata Mariam
"Tepat sekali! Saya pun merasakan hal seperti itu. Islamabad adalah kota yang menyeramkan. Malam, pohon-pohon tinggi, gelap, dan ada....suara jangkrik..... kriiik....kriiik...... Menakutkan!"

Ups! Kalimat itu spontan saja keluar dari mulut sang Ibu, seakan lupa bahwa dirinya menghabiskan masa kecil sampai masa awal dewasa di sebuah desa yang penuh bunyi jangkrik. 

*************************************************()

Tapi memang seperti itulah.
Ala bisa karena biasa.
Seorang yang terbiasa dengan getaran malam di Lahore, maka akan menerima malam di Islamabad sebagai kesenyapan yang menakutkan.

Di Lahore, pukul satu dini hari, saya masih bisa terjaga dari tidur gara-gara ada mobil tetangga lewat, sementara musik dari mobil berdentum-dentum kencang. 

Di Lahore, pukul satu dini hari, saya terbangunkan dari tidur gara-gara suara tawa tiga anak muda yang nongkrong di depan masjid. 

Di Lahore, pukul satu dini hari, saya masih bisa marah-marah gara-gara suara klakson dari pengemudi mobil yang jalannya tertutupi oleh mobil lain yang parkir sembarangan.

Lahore, dengan kesemrawutannya, ternyata membawa ketenangan di sisi lainnya.