MENGKRITIK PERMASALAHAN SOSIAL DENGAN CARA SANTUN MEMPESONA
Pun sebuah film, dituntut untuk tetap santun mempesona meski sedang marah
Pertama kali saya menonton film "3 Idiots (2009)",
yaitu sebelum saya datang ke Pakistan, saya melihat adegan "upaya
penyembuhan Raju Rastogi" hanya sebagai adegan yang menyedihkan, tak
lebih.
(Silahkan cek link adegan "jaane nahin denge tujhe")
Nah, tapi setelah saya datang ke Pakistan (2013), saya memandang
adegan ini sebagai adegan yang sangat luar biasa. Sebuah permasalahan sosial di
Asia Selatan (India, juga Pakistan) diangkat dalam adegan ini.
Raju Rastogi, yang dikisahkan sebagai anak laki-laki pertama
dari keluarga miskin, menjadi tumpuan harapan keluarga ketika dia berhasil
masuk Teknik Mesin sebuah institut paling bergengsi. Namun, karena kemampuan
akademiknya ternyata tidak mampu bersaing dengan teman-teman, dia tertekan dan
terancam di "DO". Akhirnya, dia mencoba bunuh diri.
Pihak dokter mengatakan, harapan sangat tipis untuk Rastogi bisa
sembuh. Ranchodas dan Farhan berupaya "menyembuhkan" Raju, dengan
berbagai cara, namun gagal.
Tapi ada satu hal yang akhirnya bisa membuat Raju bereaksi.
Ranchodas mengambil foto adik perempuan Raju, yaitu Kammo (digambarkan sebagai
gadis yang tidak cantik dan tidak berpendidikan), dan mengatakan bahwa telah
datang seorang pemuda yang benar-benar mencintai Kammo. Pemuda ini akan
menikahi Kammo secara GRATIS, tanpa DOWRY. Setelah adegan Rancho dan foto
Kammo, Raju pun bereaksi.
Bagi saya, sangat luar biasa cara sang penulis skenario
(Proffesor Abhijat Jhosi) dan sutradara (Rajkumar Hirani) menggambarkan
permasalahan sosial yang melanda rakyat India. Bagi sebuah keluarga miskin,
yang punya anak gadis, tidak cantik dan tidak bisa sekolah pula, permasalahan
"pernikahan dengan dowry" adalah sebuah masalah serius. Ini menjadi
beban berat bagi orangtua dan anak laki-laki tertua. Dowry adalah semacam
"mas kawin" yang harus diberikan oleh pihak perempuan ke pihak
laki-laki sebelum menikah. Dowry bisa berupa perabotan rumah tangga; kulkas,
AC, mesin cuci, tempat tidur, peralatan dapur, dan terkadang motor atau mobil.
Bagi saya, sebuah film yang bisa memaparkan permasalah sosial
dan mengkritiknya dengan cara yang sangat mempesona, adalah sebuah film yang
patut diapresiasi. Film bukanlah “kuliah umum”, di mana penonton merasa “digurui”.
Film juga bukanlah “panggung model”, yang hanya memamerkan keelokkan artis.
Film juga bukan tempat tertawa “haha-hihi” tapi hanya pepesan kosong yang
ditertawakan.
Jika hanya tersedia 10 bintang untuk menilai adegan ini, saya
akan mencari sebuah bintang lagi untuk menambahkan penilaian.
Pantaslah jika film ini menjadi
satu-satunya film sebelum tahun 2010 yang masih "nangkring gagah" di
sepuluh besar HIGHEST-GROSSING INDIAN FILMS.
- Selektif mencari hiburan, maka
sehatlah pikiran -