Seri Media & Anak (Part 3)

Remaja dan Media Panas


Beberapa hari yang lalu, saya sengaja membeli sebuah majalah remaja. Majalah ini terbit sejak puluhan tahun lalu. Saya membeli majalah itu terlebih karena sedang edisi khusus: all about seks. Fokus utamanya adalah kasus-kasus tersebarnya foto-foto dan 3GP video via ponsel dan internet. Saat akan membacanya, saya mencoba menempatkan diri sebagai remaja, seperti segmen yang dibidik majalah tersebut.

Dalam penataan rubrik suatu majalah ada sebuah prinsip: yang halaman-halaman depan adalah yang penting. Jadi, saya membaca dari halaman depan. Sampailah saya pada suatu artikel tentang hebohnya dunia maya karena beredarnya foto-foto ’aneh bin ajaib’ seorang remaja cewek. Remaja yang tidak diketahui identitasnya itu menjadi sangat tenar bak seorang artis. Dalam artikel tersebut, redaktur dengan sangat jelas menulis keyword yang bisa diketik di mesin pencarian Google dan Yahoo jika ingin melihat foto tersebut. Redaktur pun dengan detail menuliskan ada berapa artikel dan foto-foto remaja cewek itu, yang muncul dalam hitungan hanya sekian detik bila kita klik keyword itu.

Karena saya berperan sebagai ”remaja” yang besar rasa penasarannya, saya ketiklah keyword itu. Benar kata redaktur majalah itu. Muncul puluhan ribu judul tentang remaja cewek itu. Saya klik diantaranya. Dan seketika, pusing menyergap, rasa mual tiba-tiba datang, dan ingin rasanya memuntahkan seluruh isi perut. Mungkin, ini karena saya memang tidak akrab dengan hal seperti itu, sehingga tidak bisa mengatakan apa yang saya lihat adalah hal biasa.

Teknologi internet memang dahsyat. Apalagi sekarang ada fasilitas Youtube yang memungkinkan pengguna mengirim gambar yang lebih hidup.

Para redaktur majalah itu mungkin memang bermaksud baik dengan membuat edisi khusus seks untuk remaja, agar lebih hati-hati. Karena di rubrik lain saya melihat ada wawancara dengan beberapa narasumber ahli untuk meluruskan pengetahuan remaja tentang seks dan bahaya mendokumentasikan aktivitas seks, meski untuk dokumentasi pribadi. Redaktur juga menyertakan pasal-pasal tentang hukuman menyebarkan materi porno.

Permasalahannya adalah, kita perlu membedakan apakah nantinya pesan majalah itu menjadi ”referensi” bagi remaja atau menjadi ”informasi.” Jelas berbeda dua istilah ini. Jika saya membaca majalah tersebut dengan memposisikan sebagai remaja yang sangat besar penasarannya tentang seks, tentu artikel dalam majalah tersebut akan menjadi informasi. Seperti tadi, pembaca berpotensi mengikuti apa yang diberitahu redaktur, untuk berselancar di ”situs berlendir” itu. Rekaman apa yang dilihat di internet tentunya akan lebih kuat ketimbang apa yang dikatakan oleh narasumber ahli dalam majalah tersebut. Ini karena umumnya apa yang dilihat lebih mudah diingat daripada yang dibaca.

Majalah ini bisa menjadi referensi, jika dibaca oleh para orangtua dalam mendampingi anak-anaknya berinteraksi dengan media atau pihak-pihak yang peduli pada isi media.

Teknologi memang seperti buah simalakama. Kehadirannya membuat dunia semakin maju sekaligus mundur. Tak ada pilihan selain menggunakannya secara bijak. Dulu sempat ramai kampanye JBDK ’Jangan Bugil di Depan Kamera.’ Ini bertolak dari maraknya pasangan remaja yang mencoba-coba memotret atau merekam adegan ranjang mereka lewat teknologi baru, kamera handphone. Awalnya mereka beralasan untuk dokumentasi. Tapi apa mau dikata, handphone hilang dan si penemu menyebarkan foto dan rekaman itu ke internet. Dalam sekejap, jutaan netter dapat menikmatinya. Ini akan menjadi lebih booming jika majalah, tabloid, atau infotainment ikut-ikutan membahasnya. Sungguh kemajuan yang memundurkan.

Memang, dengan menulis seperti ini, toh saya tidak membuat majalah itu berubah tiba-tiba. Sudah kadung terbit dan didistribusikan. Setidaknya, semoga tulisan ini terbaca teman-teman saya yang bekerja di bagian per-media-an. Kita sama-sama pernah menjadi remaja dan sama-sama tahu bagaimana umumnya sifat remaja. Kasihan para orangtua yang kesulitan membentengi anak-anak dari serangan media berlendir; segala bentuk media yang menampilkan materi porno, yang ’sangat berani’. Majalah porno, foto-foto porno, ataupun video porno.

Selain tadi saya menemukan istilah ”situs berlendir” dalam sebuah artikel di internet, saya juga menemukan dua istilah menarik di media cetak, yaitu ”mazhab selangkangan” dan ”lirik kacrut.” Istilah pertama berkaitan novel yang temanya hanya berputar-putar pada wilayah selangkangan. Istilah kedua berkaitan dengan kemunduran lagu-lagu sekarang, yang mengabaikan keindahan nilai sastrawi. Akibatnya yang didengar tak lain adalah kata-kata kasar dan tak bermakna sama sekali. Mungkin dua hal ini dibahas lain waktu saja. Sekian, semoga bermanfaat.

(ni tulisanku beberapa bulan yang lalu....)