Mengapa tidak menikah dengan Dian Sastro?


Saat menikah, banyak cita-cita yang dibangun bersama. Begitupun dengan saya dan suami. Kalau mungkin pasangan lain berharap bisa segera memiliki anak, rumah, mobil, atau yang lain. Kalau kami, ingin suami segera bisa melanjutkan studi S3. Alhamdulilllah, di tahun ke-4 pernikahan, beasiswa datang dengan cara tak disangka-sangka dan di negara yang tidak disangka pula : Pakistan. Tepatnya di Abdussalam School of Matematic Science, Lahore. 

Sejak itu, banyak yang bertanya, mengapa Pakistan? Bukankah negara tersebut rawan konflik, politiknya labil, tidak lebih maju dari Indonesia, orangnya keras, dan lain sebagainya. Beberapa kawan mengatakan, sebaiknya tidak mengambil beasiswa tersebut.

Tapi saya dan suami sepakat, rezeki jangan ditolak. Alhamdulillah keluarga besar mendukung. Jadi, dimulailah  pengurusan administrasi untuk berangkat ke Pakistan. Alhamdulillah lancar. Dalam hati saya, insyaallah berarti berjodoh dengan Pakistan.

Saat suami mengikuti workshop di ITB, ada dosen yang menyampaikan bahwa tahun depan ada beasiswa S3 di Australia dan tadinya disiapkan untuk suami saya. Gelarnya double lagi, dari ITB dan kampus di Australia. Namun karena suami sudah menerima tawaran beasiswa dari Pak Profesor Edi Tri Baskoro (dosen suami di ITB juga) di Pakistan, dosen tersebut mencari orang lain.

Suami bertanya kepada saya, apakah saya kecewa kami tetap mengambil Pakistan, padahal Australia sedang menanti suami saya? Dalam pandangan masyarakat, Australia jauh lebh bergengsi dibanding Pakistan. Lebih maju. Lebih tertata. Dan segala kelebihan lain.

Sedangkan Pakistan, saat ini masih dilanda krisis listrik. Seorang kawan di Lahore berkisah begini: di Lahore terjadi pemadaman listrik setiap hari, selama satu jam dikali empat atau enam. Jika musim panas, listrik dipadamkan selama satu jam dikali 8 sampai 16. Artinya sehari listrik mati 8 - 16 jam. Suhunya, bisa mencapai 50 derajat. Mandi tiga kali sehari tak cukup, bisa sampai tujuh kali. Kawan saya ini menyelimuti anak dan suaminya dengan seprei basah. Itupun selang dua jam harus dibasahi kembali. Jika musim dingin, suhunya bisa -2 derajat.

Sulit membayangkan, dengan suhu seperti itu, listrik mati. Artinya, tidak ada AC, tidak ada pemanas ruangan.

Kawan saya mengatakan air rumah tangga tinggi mengandung fosfor yang tinggi. Soal budaya tentu berbeda. Pembantu rumah tangga, elemen penting buat ibu-ibu yang mempunyai anak-anak kecil, kawan saya ini mempunyai pengalaman buruk. Namun, kawan saya berkesimpulan bahwa mungkin sudah adat mereka, jadi harus lapang dada.

Kalau membaca berita tentang Pakistan, maka kata-kata ini yang sering muncul: bom, tewas, demontrasi.

Memang, gambaran awal tentang Pakistan memang tidak indah. Tapi insyaallah yang dibutuhkan, ada di sana. Insyaallah, kalau sudah terlatih dalam kondisi yang lebih sulit, kita lebih siap menghadapi berbagai kondisi.

Soal studi, saya tidak mempedulikan gengsi berjudul “asal negara”.  Ada yang di tanah air membangga-banggakan seseorang karena lulusan Australia, Amerika, atau yang lain, tetapi ternyata perguruan tinggi yang dimaksud tak lain hanyalah sebuah kampus yang tidak masuk perhitungan karena rendah kualitasnya.

Maka, saya berpesan ke suami saya, kalau masih ada yang bertanya “Mengapa pilih Pakistan, bukan Australia, Amerika, atau Jerman?”, itu sama saja seperti bertanya “Mengapa pilih menikah dengan Isti Prihandini, bukan dengan Dian Sastro yang cantik dan terkenal?”. Ya, insyaallah yang dibutuhkan suami, ada di saya, bukan di Dian Sastro.:)

Tegal, 27 September 2012