Merantau; Memperkokoh Pondasi Keluarga

"Kamu dan anak-anak mau nyusul suami ke Pakistan??? Jangan..., lebih baik jangan. Negara rawan konflik harus dihindari."


Saya masih ingat betul beberapa kalimat kontra yang dilontarkan kerabat saat saya beserta dua balita akan berangkat ke Pakistan, menyusul suami yang sedang mengambil PhD.

Saat itu, nama kotanya pun baru saya dengar. Lahore. Saya memang tak tahu apa-apa tentang kota yang akan kami datangi. Niat saya hanya satu, menyusul suami.

Studi PhD bukanlah waktu yang sebentar, lima tahun. Saya tidak bisa membiarkan "dua dapur" selama lima tahun terpisah samudra luas, apalagi di usia pernikahan kami yang baru 4 tahun. Kami satu keluarga, kami harus makan dari dapur yang sama. Itu prinsip saya.

Mengawali dengan Tangisan

Saya tak tahu Lahore. Saya tidak tahu cara membaca tulisannya (Urdu). Bicara, apalagi. Saya tak tahu nama-nama makanan yang biasa dimakan. Saya tidak tahu bumbu-bumbunya. Saya, tak tahu semuanya.

Tapi saya tahu, di Lahore ada impian suami saya, Impian saya juga; Sebuah sekolah internasional Matematika, di mana professor-professor Eropa didatangkan untuk mencetak PhD-PhD di bidang matematika.

Di sanalah kami akan berpetualang, bersama anak-anak kami. Jika dulu zaman sekolah, saat kegiatan perkemahan Pramuka ada kegiatan halang rintang dan mencari jejak untuk mengetes ketangguhan. Maka inilah versi nyatanya.

Tapi itu sungguh tak mudah. Saat sendiri, saya sering menangis. Kehidupan macam apakah yang akan kami jalani di negara yang kami tak banyak tahu?

Karena suami saya harus ke kampus dari Senin hingga Sabtu, dari pagi hingga sore, maka tugas saya momong dua balita di negara tanpa teman dan tanpa tetangga yang saya kenal. Kami tinggal di daerah yang semuanya Pakistan asli. Hanya kami sekeluarga yang WNA. Suami juga merupakan satu-satunya mahasiswa non-Pakistani di programnya.

"Jangan keluar rumah!", begitu pesan teman suami yang orang Pakistan. 

Awal-awal, ya, kami bertiga hanya di dalam rumah. Tak selangkah pun keluar gerbang. Jika ada suara gerbang diketok, maka saya ketakutan. Makanan hanya bergantung pada apa yang suami saya bawa.

Tapi siapa yang bisa bertahan? Anak-anak mana yang betah hanya di rumah? Mera chota-chota bacha, anak saya kecil-kecil. Saya pun, apakah saya bisa bertahan? Kembali saya menangis, menangis, dan menangis.

Keberanian Sebagai Modal Survive

Akhirnya saya memberanikan diri menyambut dunia. Saya membawa anak-anak berjalan kaki ke toko terdekat atau penjual sayur keliling.

Tertatih-tatih saya mempelajari mata uang rupee, mempelajari percakapan sederhana dalam bahasa Urdu, mempelajari ukuran timbangan, mempelajari nama-nama bahan makanan dalam bahasa Urdu.

Ternyata dunia luar tak seseram yang saya bayangkan. Meski setiap langkah kami diiringi tatapan heran dan bisik-bisik para Pakistani.

Perlahan, saya bisa transaksi di toko atau penjual keliling. Saya bisa menyapa tetangga terdekat. Saya tahu arah pulang jika saya membawa anak-anak ke taman terdekat rumah.

Namun, itu sangatlah belum cukup.

Pengorbanan itu Memperkuat

Adaptasi dengan lingkungan masyarakat Pakistan memang sulit. Tapi lebih sulit lagi adaptasi dengan cuaca ekstrim di kota Lahore. Di musim dingin, cuaca bisa mencapai minus. Di musim panas, 47 derajat celcius. Sangat membakar.

Saya masih ingat, di musim dingin, hal favorit kami sekeluarga adalah berkumpul di dapur. Sembari menyalakan kompor sebagai penghangat ruangan, menutup semua celah udara, dan menikmati makanan bersama. 

Saya masih ingat rasanya mencuci baju di air yang seperti es. Lalu menunggu kering hampir seminggu, karena sinar matahari tak kunjung datang.

Saya masih ingat, teriakan kedinginan anak-anak saya, saat saya  memandikan mereka meski dengan air hangat. Usai mandi, saya jemur anak-anak di bawah matahari musim dingin. Ya, anak-anak hanya mandi di saat ada matahari. Biasanya hanya dengan lap basah. Tubuh-tubuh kecil mereka masih beradaptasi dengan udara dingin.

Ketika musim panas, semua terasa membakar. Lantai panas. Dinding panas. Bahkan air pun seperti mendidih. Kipas angin tidak cukup, karena udara yang keluar pun tetap panas. 

Saya masih ingat, saya membungkusi air mentah, lalu saya bekukan. Setiap ada anggota keluarga yang mandi, saya campur air dengan bongkahan-bongkahan es batu. Saat anak-anak mulai Pre-Nursery (PAUD), saya guyur kepala anak-anak dengan air dingin sebelum perjalanan pulang dari sekolah. Payung dan kacamata hitam tak cukup. 

Saya masih ingat, situasi mencekam apabila terjadi ledakan bom Peshawar Attack yang menyebabkan  sekolah-sekolah di Pakistan tutup. Bukan hanya sekali saja, kami sering disuguhi berita bom blast. Bahkan peristiwa Ghulsan-e-Iqbal bom blast begitu menimbulkan trauma, karena terjadi di taman tempat kami rutin rekreasi.

Saya pun masih ingat, situasi menakutkan ketika terjadi perubahan alam; smog (smoke and fog) di suatu musim dingin. Ketika kabut bercampur asap berhari-hari, langit tak kunjung biru, jarak pandang hanya sekian meter, berkabut namun tak dingin dan tak segar. Lebih tepatnya sesak. Sementara saya hanya bersama dua anak, karena suami ada tugas riset selama dua bulan di Constanta, Eropa Timur.

Mengakhiri dengan Tangis

Setelah lima tahun suami menimba ilmu, tibalah kami kembali ke Indonesia.

"Pulang? Yakin? Nggak...saya nggak mau pulang! Ini kota saya....", saya pun menangis, menangis, dan menangis.

Ya, waktu mengubah segalanya. More than survive. Kami tidak sekedar bertahan di Lahore, tapi kami sudah menikmati. Sangat menikmati. Ya musimnya. Ya makanannya. Ya lingkungan sosialnya. Dan kami punya sangat banyak teman native Pakistan di sana. 

Ketika kami berpamitan akan pulang, pun banyak yang menangis. Saya masih ingat, begitu banyak warga berkumpul melepas kepulangan kami, berbagai hadiah kenang-kenangan sampai susah dibawa saking banyaknya, bahkan ada yang menunggui di Bandara sampai benar-benar melepas kami.

Begitu banyak kebahagiaan yang  kami dapatkan selama tinggal di kota yang dikenal kota seribu taman itu. Banyak yang mengira Pakistan bagian dari Timur Tengah, sehingga bayangannya hanyalah gurun pasir yang tandus. Itu salah besar. Pakistan adalah Asia Selatan. Khusus Lahore, banyak sekali taman hijau dengan bunga-bunga cantiknya di musim semi. Sampai saya pun berani mengatakan; Lahore adalah setitik surga yang jatuh ke bumi.

Hamparan rumput hijau di Racecourse Park, Lahore


Ternyata itu Masa Emas Membangun Pondasi Keluarga

Masa-masa di Lahore menjadi rangkaian episode indah dalam hidup kami. Paket komplit kurikulum kehidupan sudah kami pelajari. Bagi pasangan muda seperti kami, ternyata merantau ke negeri jauh menjadi masa emas membangun pondasi keluarga. Mengapa?

1. Suami dan istri lebih saling membutuhkan

Membutuhkan itu mengutuhkan. Saat di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari WNI, maka keberadaan pasangan benar-benar dibutuhkan. Setiap ada persoalan, kita pecahkan bersama. Mengobrol dengan bahasa Indonesia secara bebas pun hanya bisa dengan pasangan. Apalagi soal makanan, suami sama sekali tidak bisa makan pedas, jadi banyak yang harus diproses di dapur sendiri. Karena mayoritas makanan Pakistan adalah pedas. Pergi kemanapun, hampir selalu kami bersama-sama, sama-sama baru mengenal kota Lahore. Bagai bayi, kami belajar banyak hal secara bersama-sama. Belajar menjadi orang tua. Jika suami sedang belajar, saya mengurus anak-anak. Jika saya harus menyelesaikan pekerjaan rumah, suami yang mengurus anak-anak. Tidak bisa menitipkan anak-anak di Kakek Neneknya seperti waktu masih di Indonesia. Seperti dalam artikel di www.ibupedia.com dalam link ini https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/5-tips-membangun-keluarga-solid-di-hari-keluarga-nasional

2. Setiap Anggota Keluarga Saling Memperhatikan

Saat itu anak-anak kami masih usia PAUD dan TK. Pelan-pelan anak-anak bisa berkomunikasi dengan bahasa urdu dengan teman-temannya. Tapi sangat minimalis. Jadi perhatian anak-anak masih sangat terpusat kepada orangtuanya. Yang bisa memahami bahasanya, ya orangtuanya. Anak-anak bercerita tentang hal apapun, dengan orangtua. Begitupun dengan suami. Selain aktivitas kampus, sepebuhnya waktunya untuk keluarga. Saya pun, tak ada arisan, tak ada majelis taklim seperti di Indonesia, jadi waktu saya sepenuhnya untuk memperhatikan keluarga saya.

3. Terbiasa Adil ke Semua Anggota Keluarga

Saya dan anak-anak selama 6 hari di rumah. Suami selama 6 hari keluar rumah. Akhir pekan, saya dan anak-anak ingin rekreasi. Tapi suami ingin istirahat. Daripada konflik, kami membagi jadwal agar adil dan semua nyaman. Pekan pertama dan ketiga, jadwal kami bersama-sama rekreasi (shopping, kulineran, main di taman, piknik, mengunjungi teman, dan lain-lain). Pekan kedua dan keempat adalah jadwal rebahan santai di rumah saja; berjemur di matahari musim semi di balkon rumah, bakar-bakar sosis  dan marshmallow di malam musim dingin, main air saat musim panas, atau menonton film. Saya biasanya cuti dari salah satu pekerjaan rumah; misal jadi hari tanpa mencuci baju, hari tanpa memasak, hari tanpa beres-beres. 

4. Terbiasa dengan Uang Bulanan yang Teranggarkan

Kami sekeluarga hidup dari beasiswa. Suami dilarang kampus untuk bekerja sampingan. Jadi kami terbiasa dengan menerima uang dengan jumlah yang sama setiap bulan. Karena harus cukup untuk satu bulan, malu kalau minta kiriman orangtua dari Indonesia, jadi kami anggarkan uang itu harus cukup. Jadi misal kami piknik atau kulineran, itu sesuai budget. Misal ada yang tiba-tiba sakit, ada budgetnya. Keuangan yang teranggarkan ternyata berguna sekali menghindari konflik. Apa uang beasiswa kami banyak? Tidak juga. Tapi gaya hidup kami sesuaikan dengan budget. Tidak teramat menghemat sampai mengesampingkan hiburan dan gizi. Tidak juga royal dan boros. Itu penting sekali bagi ketahanan sebuah rumah tangga.

5. Banyak melewati hal pertama dalam hidup secara bersama-sama

Hal pertama dalam hidup yang berkesan tentu akan manis dikenang. Mengenangnya akan menimbulkan rasa cinta. Banyak hal pertama yang kami lalui bersama. Pertama kali ke Pakistan. Pertama kali ke perbatasan Pakistan dan India. Pertama kali ke Harappa; peradaban sungai indus tahun 2600 SM. Pertama kali melihat salju. Pertama kali mengunjungi taman-taman super luas di Lahore. Pertama kali merasakan cuaca panas ekstrem. Pertama kali melihat hujan batu es. Pertama kali menikmati buah-buahan khas negara 4 musim. Dan masih banyak sekali hal berkesan yang kami lalui bersama-sama, yang membuat kami merasa lebih bahagia dan lebih kuat. Seperti dalam artikel www.ibupedia.com dalam link ini https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/10-tips-menjalani-kehidupan-pernikahan-yang-setara-dan-bahagia.

Menikmati musim dingin di daerah pegunungan Murree


Mengunjungi Harappa (peradaban sungai Indus 4000 tahun lalu) di dekat kota Sahiwal.

Hanya anak-anak saya yang non-Pakistani di sekolah yang berbahasa mayoritas Urdu dan sedikit English ini.




Ibarat sebuah bangunan, maka yang dikuatkan pertama kali adalah pondasi. Begitupun rumah tangga. Pondasi yang kuat dan kokoh insyaAllah akan mampu menopang beban-beban diatasnya. Suami saya sering mengatakan, betapa ia mencintai saya dengan segala pengorbanan selama hidup di Pakistan. Jika terjadi konflik di episode kehidupan sepulang dari Pakistan, maka kami mengingat-ingat betapa utuhnya kami dahulu, betapa cintanya kami dahulu. Pengalaman hidup perih mengajarkan, bahwa bagaimanapun badai rumah tangga, jika bergenggaman tangan seluruh anggoa keluarga, insyaAllah shaab teek ho jai ga, semua akan baik-baik saja. 


Oleh: Isti Prihandini (Ibu Rumah Tangga, 35 tahun dengan 3 Anak)

Artikel ini dalam rangka BLOG COMPETITIONS Ibupedia. Pilihan tema : Family

Follow akun IG Ibupedia, dengan nama akun: Afrinmart

Rujukan Artikel:

https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/5-tips-membangun-keluarga-solid-di-hari-keluarga-nasional

https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/10-tips-menjalani-kehidupan-pernikahan-yang-setara-dan-bahagia