Warna-Warni Ta'aruf (Part 2)
Hemmm.... Sore ini saya selesai membaca tulisan temen soal ta'aruf dia dengan calon suaminya. Berawal dari suka, kemudian "ta'aruf resmi" lewat guru ngaji, lantas tidak diijinkan orangtua sang akhwat. Mereka harus menunggu kurang lebih satu setengah tahun setelah akhwatnya selesai kuliah. Bagaimana interaksi mereka selama masa menunggu itu? Sementara hati sudah saling suka dan saling kagum selama beberapa tahun?
Saya belum akan menceritakan hal itu. Karena saya mesti tabayyun lagi, agar benar-benar jelas dan tidak salah sangka. Saya mau cerita tentang satu hal yang perlu kita waspadai saat berada dalam "masa menunggu keputusan / perjanjian agung", yaitu : menjaga Komunikasi Antar Pribadi (KAP) antara dua calon. Ini sungguh perlu diperhatikan. Sambil menulis tulisan ini, saya kembali mengingat-ingat KAP saya dengan calon suami saya saat menjelang pernikahan. Saya khawatir jika ternyata saya menulis apa yang tidak saya praktekkan.
Ber-KAP dengan calon suami/istri, apalagi yang kita pikir akan cocok dengan kita, memang bisa menimbulkan rasa senang dan nyaman. Hati bisa berbunga-bunga saat mendapat telepon atau SMSnya. Tapi... meski sudah resmi dikhitbah sekalipun, tetap berlaku hukum : hubungan itu dimaknai sebagai hubungan antara dua lawan jenis yang masih harus dibatasi hukum-hukum syariat.
Ber-KAP dengan calon suami/istri dalam masa menunggu terjalinnya perjanjian agung bernama akad nikah itu, menurut saya perlu dibatasi dua hal:
1. Tema pembicaraan
2. Waktu
Tema pembicaraan, jelas.... kita hanya dibatasi pada hal-hal yang terkait dengan koordinasi pernikahan (apabila sudah ada keputusan akan mengkhitbah/sudah dikhitbah). Dan inipun lebih ke sifatnya yang teknis. Mengapa? Karena menurut saya, pembicaraan yang sifatnya lebih konseptual (visi misi pernikahan, harapan-harapan, penjelasan lebih jauh tentang diri dan keluarga) itu sudah harus diselesaikan saat Komunikasi Kelompok (calon suami, calon istri, murabbi/murabbiah/ perantara). Pembicaraan yang sifatnya konseptual seperti itu, kalau dibicarakan hanya dengan calon suami/istri melalui telepon/SMS, akan sangat berpotensial menimbulkan "perasaan nyaman/senang". Ini tentunya akan cenderung pada munculnya penyakit-penyakit hati. Kalau buat saya pribadi, saya akan mendefinisikan "perasaan nyaman/ senang yang berkesinambungan" saat mendapat telepon/SMS/email dari calon suami itu dan sudah termasuk "penyakit hati". Mungkin "sa-klek" kedengarannya. Tapi, tiap orang berbeda-beda benteng pertahanan hatinya. Jadi, sangat perlu meminimalisir pembicaraan dengan calon suami/istri. Jika hal teknis seputar koordinasi pernikahan, seperti kapan, bagaimana prosesi dan ubo rampe nya, siapa saja yang diundang, dan lain sebagainya, itu boleh.
Pembatasan kedua adalah "waktu". Saya senang mempraktekkan apa yang menjadi kesepakatan ikhwan-akhwat FSI FISIP UI jaman saya masih aktif menjadi pengurus. Komunikasi ikhwan-akhwat adalah antara 05.00 - 21.00. Di luar itu, dilarang, kecuali jika tanpa komunikasi itu dakwah akan berantakan. Nah, memang... mungkin seperti dalam lagunya jikustik, "makin larut makin indah", seperti itulah saat mengobrol dengan lawan jenis. Maka, saat sedang taaruf dengan calon suami/istri pun, perlu dibatasi waktu. Dulu, karena masa-masa koordinasi pranikah dengan calon suami adalah saat Ramadhan, jadi saya membuat aturan, telepon/SMS kordinasi boleh dilakukan sebelum pukul 18.45. Sesudah 18.45 tidak boleh, karena saya baru pulang tarawih pukul 21.15 atau 21.00. Jadi sudah lewat pukul 21.00, itu sudah masuk jam larut bagi saya. Kecuali Sang Imam tarawih dan penceramahnya sangat kilat, jadi saya pulangnya kurang dari pukul 21.00, maka saya membolehkan diri dan calon suami untuk koordinasi.
Pembatasan tema dan waktu pembicaraan antara ikhwan akhwat yang sedang ta'aruf, bagi saya, sangat penting, untuk menjaga kesucian interaksi pranikah. InsyaAllah, lebih suci lebih berkah.
Malaka Jaya, 27 April 2009