PhD : Martabak Mie
Kalau sepuluh tahun yang akan
datang, di Lahore, khususnya wilayah wahdat colony, ada menu “martabak mie”,
maka bolehlah saya mengklaim “itu karena saya”. Saya pun berkhayal, nama saya akan dikenang,
diingat-ingat. Jika orang sini makan mie digoreng seperti martabak, maka akan
berkata “ini orang Indonesia punya”.
Jadi, alkisah, orang-orang
penasaran dengan apa yang saya makan. Mereka mengirim makanan Pakistan untuk
saya, saya pun mengirim mereka dengan “martabak mie”. Saya katakan: Ini omelet
mie, bukan makanan tradisional Indonesia, ini inovasi baru”.
Pemilik warung bingung, mengapa
saya sering membeli mie. Maksudnya, tidak setiap hari, tapi intensitasnya lebih
sering dari orang-orang sekitar rumah kami. Bu Jasmin, namanya. Wanita bercadar
ini menjaga warung bergantian dengan suami dan anak-anaknya. Ketika Bu Jasmin
bertanya “Mengapa suka mie, anak-anak saya tidak ada yang suka”. Maka saya
jawab, saya punya selera sendiri. Tak lama kemudian saya kirimi beliau martabak
mie.
Pagi ini, Bu Jasmin datang ke
rumah mengantarkan satu boks lauk kari, sambil memuji “Mie kamu boghot achi, sangat enak sekali.
Anak-anak saya sangat suka. Boleh saya belajar memasaknya sekarang?”
Bu Jasmin sudah siap dengan
membawa bahan-bahannya sendiri, itu tanda bahwa beliau siap belajar. Dalam hati
“Waduh, ini resep rahasia, kalau semua orang sini sudah bisa membuat martabak
mie, saya mengantarkan makanan apa untuk mereka?”.
Tapi, baiklah, saya ajari cara membuat martabak mie. Rasa-rasanya, saya harus segera mendaftarkan ke
pengurus hak paten. Hehehehe