Hikmah Pemadaman Listrik Secara Rutin


Pakistan itu negara yang unik. Ada listrik, tapi ada juga pemadaman listrik secara rutin. Berhubung saya ikut menyumbang doa saat pemilu di Pakistan, partai yang basisnya di Lahore menang! Walhasil, sekarang pemadaman listrik di Lahore tidak separah dua tahun lalu, saat saya baru datang. Dulu listrik mati 12 jam hidup 12 jam. Sekarang hanya mati 6 jam. Jadi ingat ya, pelajaran moral nomor 19, kalau pemilu jangan lupa menyumbang doa.
 Dan sekarang saya sudah bisa menganalisis, apa hikmah di balik pemadaman listrik.

Hikmah pertama
Saking rutin dan tepat waktunya listrik dimatikan, saya jadi tidak memerlukan lagi jam untuk mengetahui sekarang jam berapa.
Habis shubuh, listrik mati, oh....berarti itu antara jam 05:20 – 06:20
Habis nyuci baju, listrik mati, oh...itu antara jam 11:20 – 12:20
Mau makan siang, listrik mati, oh...itu antara jam 14:20 – 15:20
Sore-sore, listrik mati, oh...itu jam antara 18:20 – 19:20
Habis makan malam, listrik mati, oh....itu antara jam 21:20 – 22:20
Bangun tengah malam, listrik mati, oh...itu antara jam 01:20 – 02:20
Keren bukan main ‘kan! Bukan saya saja yang tidak memerlukan jam lagi, orang-orang sekitar saya pun begitu. (Namun rasanya ini bisa menjadi tanda-tanda kebangkrutan pabrik jam dinding).

Hikmah kedua
Pemadaman listrik juga menjadi sarana tepat agar masyarakat Pakistan rajin bersosialisasi dengan kerabat dan tetangga. Begini asal-usulnya. Jika listrik mati di musim panas, di sore hari, maka orang-orang akan naik ke atap untuk mencari angin. Anak-anak akan keluar rumah untuk mencari udara segar. Nah, di atap itulah, masyarakat Pakistan bersosialisasi dengan para tetangga. Saat saya sedang di dapur sore hari misalnya, saya sering mendengar percakapan dua anak muda di atap. Itu pasti Thalhah, anak pemilik rumah saya, dengan bhai, anak tetangga yang di belakang rumah kami. Mereka mengobrol begitu akrab, meski mereka berada di atap rumah yang berbeda.

Atau coba lihatlah dua menantu perempuan Nano. Nano adalah mantan tetangga saya di rumah lama. Rumahnya sangat tinggi menjulang sehingga tampak dari balkon rumah saya. Saya sering melihat, saat listrik mati, dua menantu perempuan Nano berdiri berdampingan di atap rumah mereka, mengobrol sambil melihat-lihat pemandangan. Mereka membiarkan dhupata tertiup angin. Kadang saya melambaikan tangan, kadang mereka melihat, kadang mereka tak melihat. Coba kalau listrik tidak mati, pastilah mereka masuk ke rumah, menyalakan strika, menyalakan mesin cuci, membantu anak-anak mengerjakan PR. Dua menantu perempuan Nano memang tampak rukun, bahu-membahu mengerjakan segala pekerjaan domestik. Mereka satu nasib, nasib menjadi perempuan Pakistan, di mana tradisi join family masih begitu kental. Maka, pemadaman listrik menjadi hikmah untuk mereka, sejenak melupakan pekerjaan domestik, mengobrol dengan perempuan yang senasib, untuk kembali menemukan alasan mengapa mereka dilahirkan.

Di musim dingin, misalnya. Pemadaman listrik juga mendorong saya untuk keluar rumah. Menggelar tikar di balkon, menyeruput chai sambil mencelupkan zeera biscuit. Dari balkon rumah saya, saya melempar senyum ke keluarga Hamzah di atap rumah berlantai tiga atau ke sebuah keluarga di depan rumah kami.
Begitulah cara pemerintah Pakistan mendorong rakyatnya untuk bersosialisasi.

Hikmah ketiga
Pemadaman listrik juga membuat saya menjadi orang terhebat di mata kedua anak saya. Anak saya mengatakan dengan bangga begini:
Anak: Ummi lebih hebat dari Mama Ali!
Saya : Lho, kenapa?
Anak: Mama Ali nggak bisa nyuci kalau listrik mati. Tapi Ummi bisa. Hebat itu Ummi...


Mencuci manual memang saya kerjakan di Pakistan, karena saya tidak mau tergantung dengan keberadaan listrik.