Kenangan Bersama Keluarga Ali
Setiap muharam, saya teringat sebuah kenangan kecil di teras rumah kami di Lahore, Pakistan. Saat itu kami satu bangunan dengan Ali kecil yang menggemaskan. Kami bertetangga baik, bahkan sangat baik. Anak-anak kami juga satu sekolah. Teman-teman orangtua murid di sekolah menganggap saya dan keluarga Ali seperti sebuah keluarga, join family.
Menjelang tanggal 9-10 Muharam, keluarga Ali mudik ke kota kecilnya di luar Lahore. Sepulangnya dari mudik, Ali kembali bersekolah. Sesampainya di teras rumah, Ali memukul-mukulkan botol minum ke punggung. “Brar.....ajo....”, Ali mengajak Abrar memukul-mukul punggung dengan botol. Abrar pun memegang tali botol dan memukul-mukul punggung dengan botolnya. Mereka tertawa-tawa. Saya bertanya, “Kalian sedang main apa? Jangan ah, sakit punggungnya”. Saya sama sekali tidak paham saat itu, hanya ikut tertawa melihat tingkah bocah-bocah.
Sejak itu, saya berpikir sambil mengamati. Hanya berpikir dan mengamati. Tanpa bertanya, diskusi, debat, apalagi berantem tentang keyakinan. Saya tidak mencari perbedaan, tapi saya mencari persamaan. Sama-sama perantau di kota besar Lahore, sama-sama sebagai pasangan muda yang kerepotan mengasuh anak, sama-sama pengontrak yang kadang kesal dengan manajemen pengelola rumah kontrakan, dan “sama-sama” yang lainnya. Kehidupan bertetangga kami berjalan sebagaimana biasanya. Sampai akhirnya, Fatma, adik Ali hadir di tengah-tengah keluarga Ali. Rumah yang tadinya terasa cukup, menjadi terasa lebih sempit. Mereka memutuskan untuk kembali ke kota kecilnya di mana mereka mempunyai rumah yang sangat luas.
-Belajar Hidup Damai Meski Berbeda -