Dia, Faisal

(Tulisan untuk teman-teman kedokteran)
Dia berkisah tentang manusia, dengan segenap kegelisahannya.
Begitu menyentuh.Catatannya, sangat bertenaga.


Kereta Senja Utama Solo mulai bergerak perlahan. Matahari baru saja melipat gaunnya di atas langit Stasiun Balapan. Saya masih ingat, tepat satu minggu yang lalu prosesi wisuda telah menemukan akhirnya. Pertanyaan yang menggelisahkan para sarjana muda, tentang kemana kaki akan melangkah usai hiruk-pikuk kampus, berapa gaji yang layak di dapatkan seorang fresh graduate sebuah universitas terkemuka, dan serentetan harapan orang-orang yang mencintai, masih terngiang.

Malam kian larut. Laju kereta semakin kencang. Tak ada lagi bunyi langkah-langkah penumpang yang mencari toilet. Para pelayan restoran kereta sudah tak lagi sesibuk saat kereta baru melaju. Senyap. Sesekali terdengar dengkur penumpang, di kursi, ataupun di karpet. Angin malam ini benar-benar nakal! Ia masuk dengan beringasnya, lantas membuat kembung perut para penumpang. Di luar jendela, pekat menghiasi. Hanya sesekali terlihat lampu neon rumah warga, ataupun segerombolan kunang-kunang yang sedang bercengkerama.

Hening pun jatuh, meleleh di antara ransel-ransel, selimut-selimut bantal yang sesekali masuk laundry, karpet yang tertempel keringat banyak orang, dan disela-sela kursi yang dihargai cukup mahal.

Hingga seseorang menyapa. Ternyata sudah lama dia duduk di samping saya, cuma saya baru menyadari.

“Sepertinya kita pernah bertemu?,” Dia melontarkan kalimat pembuka. Saya mengembalikan file-file memori. Ya! Dia pernah datang saat saya baru saja menginjak halaman SMA.
“Ya, kurang lebih enam tahun lalu.”
“Mengapa kamu tidak pernah berkirim kabar?”
“Hemmm… alasan klasik. Maafkan saya yang tidak tahu balas budi.”
“Rupanya nyenyak sekali tidurmu,” Dia mengajak mengobrol lagi.
“Keletihan mungkin…” Saya memandangnya sejenak, senyumnya masih seperti yang dulu. Begitu teduh. Seorang pelayan berjalan berhati-hati, melompati penumpang-penumpang yang tidur di lantai kereta. “Mas, nasi goreng, satu.” Pelayan itu mengangguk semangat dan melempar senyum untuk saya.
“Kamu sendirian saja?” Pria jangkung itu kembali bertanya.
“Ya, seperti ini dari dahulu”
“Kesendirian itu menyakitkan…”
“Terkadang. Ya, hanya terkadang.” Saat ini saya tidak benar-benar sendiri. Tentunya, ada Allah. Berikutnya ada tugas-tugas baru yang harus saya selesaikan. Lantas, beberapa sahabat yang masih ‘tersisa,’ yang nomor handphonenya masih aktif atau yang masih rajin mengecek email. Bukankah itu dua sarana berhubungan dengan manusia di zaman super sibuk.
“Maaf… Mmmm… masih kuliah atau sudah lulus?”
“Tepat satu minggu yang lalu baru selesai prosesi wisuda”
“Ohh… Selamat!”
“Terima kasih.” Bersamaan dengan itu, pelayan datang. Nasi goreng yang panas cukup untuk mengisi perut yang mulai bernyanyi.
“Masih aktif menulis,” Giliran saya sekarang yang bertanya. Dia tersenyum.
“Ya…di sela-sela kesibukkan, saya masih menulis.”

Saya terdiam sejenak. Sudah saya duga. Dia memang pernah menjadi wartawan. Menurut saya, gaya bahasanya lebih mirip sastrawan. Tapi, profesi dia sesungguhnya bukanlah sastrawan atau wartawan. Kita sama-sama pernah mengagumi Ivan Illich. Ivan, seorang pria kalem yang membuat merah telinga para pekerja kesehatan, lewat bukunya: Limits to Medicine. Beda dengannya, saya mengagumi Ivan karena gagasannya tentang pendidikan. Dalam Deschooling Society, dia mengkritik kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipraktekkan. Melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Sehingga, peserta didik hanya diminta untuk mengejar formalitas nilai, tanpa mengharapkan lebih pada kualitas proses pembelajaran. Mereka akan mengejar: yang penting lulus, dapat ijazah! Kritikan inilah yang ikut melatarbelakangi sistem homeschooling.

“Hmmm, sibuk dimana sekarang?” Dia kembali bertanya. Saya tersenyum. Sebuah pertanyaan yang kerapkali dihindari para sarjana yang baru lulus. Saya mencoba memutus obrolan itu. Saya mengambil handphone, sudah pukul dua dinihari. Tapi, sepertinya perjalanan kereta baru separuh. Di luar jendela mulai terlihat jalan-jalan raya yang senyap. Hanya sesekali lewat sebuah truk yang sepertinya kepayahan membawa beban.

“Adakah sesuatu yang lebih membahagiakan seorang sarjana muda, selain bisa berkarya di tempat yang diimpikan?,” Dia seperti melempar pertanyaan retoris. Seperti sudah membaca pikiran saya. Saya hanya menggeleng.
“Idealisme adalah hal yang sulit dipertahankan,” ujarnya.
“Tapi itu wacana klasik. Menurut saya, membahasnya adalah seperti kita berkisah tentang dongeng lama, berulang-ulang. Dan sangat menjenuhkan”
“Benar. Tapi satu kata itu yang membuat kita harus mengkaji ulang mengapa banyak sarjana yang ‘disorientasi mimpi.’ Padahal, pengabdian kepada masyarakat adalah hal yang mutlak. Musuh kita masih banyak: penyakit infeksi, kurang gizi, kependudukan… Trio inilah yang menghantui negeri kita. Beribu-ribu nyawa ditelannya. Beribu-ribu masa depan dipupusnya, sejak pagi sekali, tanpa rasa kasihan!”

Diam-diam, saya sepakat. Sejak pertama kali bertemu, memang saya sudah menaruh hormat – kalau tidak boleh dibilang kagum – kepada dia.

“Tak hanya itu, penyakit sosial pun kian mewabah…,” Saya menambahkan. Ternyata saya masih ingin mengobrol. Serta-merta grafik peningkatan angka tindak asusila, melintas di kepala saya.
“Ya, saya setuju. Kita lihat sekarang… Masyarakat sekarang beramai-ramai mengidolakan seseorang. Mereka dengan cepat mengagumi seseorang dan menjadikannya pahlawan. Tidak, ini tidak salah. Hanya saja mereka tidak sadar, siapapun adalah manusia biasa. Suatu waktu bisa benar, bisa salah di lain waktu. Itulah yang mungkin salah,” Dia masih bersemangat.

Saya mengangguk. Benar, dalam pemilihan kepala daerah atau bupati misalnya, banyak yang menjadikan pemimpin karena ketenarannya, bukan idealismenya. Jangan lupa, seperti kata Garin Nugroho, Clinton sukses meraih suara anak muda karena mampu tampil gaul di MTV dengan berbicara tentang mode celana dalam dan dunia remaja lainnya. “Anak-anak muda inilah atom-atom dalam dunia tekno-kapitalis yang pegas utamanya televisi,” tulis Garin dalam Seni Merayu Massa.

Kalimat terakhir Garin terasa menyogok-nyogok perut saya. Nasi goreng yang baru saja mampir, serta-merta berlomba melarikan diri melalui mulut saya. Kepala pening! Laju kereta tiba-tiba sangat amburadul. Semua bergoyang-goyang. Ransel-ransel berjatuhan. “Bukk!!! Praaang!” Sebuah ransel jatuh mengenai saya. Gelas yang sedang coba saya singkirkan, ikut pecah.

Saya tersadar. Dia tak ada. Saya mencoba menengok kesana-kemari, mencari teman seperjalanan yang mengobrol dengan saya tadi. Tidak ada. Kursi di samping saya memang kosong sejak sore tadi. Ransel-ransel masih rapi di atas kursi. Hanya sebuah tas kecil yang terjatuh, dan sebuah gelas yang tak sengaja tersenggol.

Di tangan saya, masih tergenggam sebuah buku yang ditulis olehnya. Ya, sedari tadi ternyata saya hanya bercakap-cakap dengan catatan-catatan dia. Tak lelah saya membolak-balik lembar demi lembar buku yang ditulisnya saat bekerja di sebuah dusun kecil. Padahal, saya yakin betul, saya masih ingat isinya. Bahkan saya masih ingat beberapa percakapan tokoh dalam buku itu.

Buku itu pernah menjadi obat ketika sebuah ‘penyakit pasca-sekolah lanjutan atas’ menyerang saya demikian hebat. Beberapa tahun kemudian, buku itu menghilang. Saya kembali menemukannya di Solo, saya ‘merebutnya’ dari tangan kakak yang juga tidak ingin kehilangan buku itu.

Saya kembali membaca buku itu, sambil menikmati dinginnya angin kereta. Lembar berikutnya terbaca.

“Salahkah ia, jika setelah lulus sebagai dokter, ia memimpikan dapat berpraktik di sebuah kota besar dan dapat memperdalam pengetahuannya dalam spesialisasi tertentu? Salahkah ia, jika setelah melalui perjuangan yang berat di bangku kuliah dalam tahun-tahun yang panjang dan kelabu, ia kemudian ingin hidup yang lebih enak dan berkecukupan? Salahkah ia, jika mempunyai mimpi dan harapan yang tidak seidealis dulu lagi? Dan karena itu, apakah ia tidak mempunyai jiwa pengabdian yang tinggi dalam hidup ini?”

Dia memang pernah dihantui serentetan pertanyaan itu. Hanya sebentar. Kemudian dengan senang hati dokter muda itu menerima penugasan di Puskesmas Melaya, Bali. “Semuanya adalah bumi Allah…” Dia menghibur diri. Dan menghibur banyak orang sebenarnya.

Ya, dia memang Faisal. Dokter Faisal Baraas.

Dibanding saya, mungkin teman-teman kedokteran UI lebih mengenalnya. Dr. Faisal Baraas, SpJP, yang sekarang diamanahi sebagai orang nomor satu di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Dan buku yang sangat bertenaga itu adalah Catatan Harian Seorang Dokter.#


Jakarta, 19 Shafar 1429/270208
Satu tahun lalu, tulisan ini saya buat dan saya kirimkan ke Dokter Faisal. Sehari setelahnya, saya mendapat telepon langsung dari beliau, yang kemudian menanyakan kabar dan berbagi nasihat. Bahagia sekali saat itu. Sekali lagi, terimakasih Dokter...