Ibuku Juga Hebat (2)

Biarkan Anak Belajar Memahat
Pada suatu hari menjelang maghrib, saya baru pulang dari sekolah. Entah sudah berapa kali - sejak SMU - saya terlambat pulang. Meski seharusnya pukul 14.00 saya sudah tiba, namun kadang pukul 17.30 saya belum sampai rumah. Beberapa kali bahkan saya sampai di rumah ba'da maghrib. Semula saya khawatir 'diinterogasi' oleh orang rumah, terutama Ibu. Namun tidak ada yang pernah bertanya mengapa saya pulang terlambat. Yang sering saya dengar justru "Ooo... baru pulang?" Atau "Belum makan 'kan? Itu di meja ada makanan," itu saja. Sungguh berbeda dengan yang dialami oleh teman-teman sekolah saya.
Keheranan saya bertambah ketika jumlah nilai raport kelas 2 SMU saya turun beberapa point dan saya tidak masuk lima besar, tapi Ibu lagi-lagi tidak memarahi saya. Ibu hanya tersenyum ketika saya pulang dengan wajah kelabu. Anehnya lagi, Ibu tetap membiarkan saya mengikuti kegiatan di luar rumah saat liburan.
Tetapi kemudian saya kembali bertanya-tanya dalam hati, kalau pola pendidikan yang diterapkan ibu seperti 'umumnya'; dimana orangtua mudah saja 'memahat' anaknya, kamu harus menjadi ini, makanya kamu kuliah di situ, dan nanti kamu harus begini, dst, apa kira-kira dampaknya bagi saya?
Pola pendidikan seperti itu - menurut saya - hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan. Anak zaman sekarang tak selunak anak zaman dahulu. Mungkin karena arus modernisasi. Seperti teman saya, yang akhirnya 'minggat' dari rumah karena tidak betah dipingit, diatur ini-itu, dikerasi atau diindoktrinasi.
Lantas saya berpikir. Pendidikan terhadap anak, sebaiknya memang lebih menekankan pada tanggung jawab. Tanggung jawab yang bukan berarti melulu perintah, tapi upaya memberi kesempatan kepada anak untuk memilih aktivitas. Memberikan kesempatan untuk menilai dan mengambil keputusan sendiri serta menyadari hasil yang akan diperoleh di masa depan. Anak harus diberi kebebasana menyampaikan gagasan, perasaan, pikiran, keinginan, dan keputusan sendiri yang akan mempengaruhi masa depannya sendiri. Tentu dengan catatan, keputusan itu tidak mebahayakn dirinya dan tidak menyimpang dari norma-norma agama.
Sejak dini anak tentu saja harus diajari berbagai prinsip yang harus dipegang teguh - dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah - seperti tauhid, aqidah, hari akhir, pembalasan atas setiap perbuatan manusia, dll. Lalu apabila ini sudah dilakukan, sesungguhnya seorang anak dapat dipercaya untuk belajar memahat dirinya sendiri.
Setelah saya renungkan, ternyata pola pendidikan yang diterapkan oleh Ibu saya bisa dibenarkan. Dengan kebebasan yang diberikan, saya mempunyai kesempatan untuk mendapatkan modal dasar yang harus dimiliki pelajar seperti confidence (kepercayaan diri), responsibility (tanggung jawab), preference (memilih), caring (kepedulian), team work, motivation, common sense (rasa kebersamaan), upaya dan problem solving. Dan yang tak kalah penting adalah ketrampilan berorganisasi.
"Bukan anak yang harus dilatih untuk menjadi anak yang baik, tapi orang tulah yang harus dilatih menajdi orangtua yang efektif" kata Dr. Thomas Gordon dalam buku Parent Effectivenes Training.
Ibu saya tidak mengenal Gordon, tapi beliau telah melakukan apa yang telah dikatakan Gordon.
Maha suci Allah yang telah menciptakan seorang wanita yang berjiwa mulia. Yang telah mengandung saya dalam keadaan lemah yang amat sangat dan mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan saya. Yang rela bangun pagi untuk menyipakan sarapan, pun ketika sahur puasa sunah. Yang sudi menyiapkan teh hangat atau makanan kecil ketika saya harus belajar sampai larut malam dan bersedia memijit saya saat lebit beraktivitas di luar rumah. Juga yang dengan ikhlas mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya bukan semata melalui kata-kata. Dialah Ibu saya. #
Tegal, akhir tahun 2002.
Kukis tentang Ibuku ini ditulis pas kelas 3 SMU. Trus dikirim ke majalah UMMI rubrik Dunia Wanita. Eh, alhamdulillah dimuat, di edisi bulan Jan-Feb 2003. Temen-temen sekolahku sempet geger... ada namaku di majalah. Wuaaaah.... senengnya.... Apalagi dapat honor. Asyiiiik... buat jajan! Hehe