Pulang Kampung
Seorang kawan, dengan wajah murung, menggeleng berat saat saya tanya kapan mudik. Waktu itu, baru sembilan hari umat Islam berpuasa. Perasaan sedih terpancar dari air mukanya. “Saya kehabisan tiket”begitu katanya. Tiket pesawat terbang dan bus untuk tanggal yang telah dia rencanakan sudah habis. Hanya tersisa tiket untuk tanggal di mana dia masih harus kuliah. Menggunakan kereta? Tidak mungkin, tempat tinggalnya jauh di seberang laut. “Mau tak mau saya harus bolos kuliah. Pokoknya saya harus pulang.” Berbeda dengan dia, kawan saya yang lain selalu langsung menyebut tanggal mudiknya dengan sangat riang dan bersemangat. Maklum, saat matahari sedang naik di hari pertama puasa dia pergi ke stasiun Juanda. Pesan tiket Kereta Eksekutif. “Waktu saya ke sana , tiketnya tinggal sedikit” kenang dia. Padahal bedug tanda berbuka pun belum ditabuh.
Pulang kampung memang menjadi saat yang dinanti-nanti. Bukan hanya mahasiswa, melainkan semua orang. Apalagi kalau lebaran. Segala kebutuhan di persiapkan jauh-jauh hari. Tiket, oleh-oleh, juga kendaraan buat yang tidak menggunakan jasa transportasi umum. Yang paling jarang dilupakan adalah tanggalnya. Setiap kali selesai berbuka, kawan saya mencoret tanggal dengan spidol merah. Semakin banyak coretan tanggal merahnya, semakin giranglah hatinya. Artinya, semakin dekat pula hari paling membahagiakan; pulang kampung. Berkumpul bersama keluarga, handai taulan, bertemu kawan-kawan lama, alangkah senangnya. Kembali bisa merasakan segarnya angin sawah, wanginya bunga, gemericik air sungai, kabut gunung, lambaian pohon nyiur di pantai. Makan ketupat bersama dan menikmati jajanan khas kampung yang sudah lama tidak mampir di lidah juga menjadi hal yang tak pernah luput dibayangkan menjelang pulang kampung. Hampir semua orang bergembira. Telah tiba saat untuk menghilangkan penat, menjauh dari hiruk pikuk kota , bisingnya mesin pabrik, tugas-tugas kuliah, kejaran deadline, tuntutan agenda kerja.
Maka tak heran jika di suatu komplek padat pemukiman di Pal Merah, yang biasanya kalau berjalan satu-satu (saking sempitnya gang dan banyak yang mau lewat) nyaris seperti kota tak berpenghuni saat lebaran. Banyak yang pulang kampung. Kota-kota besar pun lengang ditinggal penghuninya.
Lantas, pihak pengelola jasa transportasi pun beramai-ramai menambah unit tambahan untuk memfasilitasi mereka yang akan pulang kampung. Seperti pihak pengelola Terminal Bus Kampung Rambutan yang menyiapkan 150 bus cadangan di luar 600 unit yang beroperasi setiap harinya. Tahun lalu, karena tak ada bus, orang-orang rela berdiri selama perjalanan 12 jam, bahkan lebih. Tak kebagian kursi, terjebak macet berjam-jam pula. Di kereta kelas ekonomi lebih bikin dada naik turun. Panas bak di oven, penumpang berjubel, sebentar-sebentar berhenti memberi jalan kereta kelas yang lebih tinggi. Derum mesin yang sudah memekakkan telinga berpacu dengan tangis bayi-bayi yang tak kuat menahan panas. Intaian pencopet pun meyebar ke segala titik. Itu belum cukup, masih ada kasus kecelakaan bus dan kereta yang hampir selalu mewarnai moment membahagiakan itu. Toh, orang-orang tetap bergegas dan riang gembira untuk bersiap-siap pulang kampung. Mahalnya tiket, gerah dan rawannya perjalanan, macet yang berjam-jam tak menjadi soal. Yang penting pulang dan hati pun senang.
Begitu juga yang sepatutnya kita lakukan saat harus pulang ke “kampung” yang sebenarnya. Kampung akhirat. Di sanalah tempat kita menikmati gemericik aliran sungai yang mengalir di bawah-bawah surga, ranumnya buah-buahan, harumnya taman, lezatnya “ketupat” surga, dan segala jajanan yang sama sekali belum pernah kita rasakan. Di sana lah tempat kita menumpahkan segenap cinta dan kerinduan berkumpul bersama Junjungan kita, Rosulullah yang dimuliakan Allah beserta sahabat-sahabatnya, orang-orang yang dahulu bersama kita di jalan kebenaran, dan bidadari-bidadari jelita yang dipersiapkan khusus menyambut kita. Kampung akhirat. Di sana lah kampung kita yang sebenar-benarnya, yang abadi. Sedangkan di dunia, kita ibarat sedang merantau. Hari demi hari yang kita lewati tak lain untuk bergembira menyiapkan kebutuhan yang akan di bawa saat pulang kampung. Semakin banyak yang bisa kita bawa untuk bekal, semakin tenanglah kita. Jangan khawatir, kita tak bakalan terjebak macet atau kehabisan “tiket” untuk pulang ke kampung yang sebenarnya. Kita tinggal memilih, kelas ekonomi, bisnis, atau eksekutif. Semua tergantung amal sholeh yang kita lakukan di dunia. Semakin banyak amal kita, semakin bagus tiket yang bisa kita ambil. Semakin nyaman dan gembiralah kita di “kampung”.
Ramadhan inilah moment tepat kita untuk memulai mencicil “tiket pulang kampung”, dengan meningkatkan iman dan taqwa tentunya. Wallahu’alam.
Ni tulisanku jaman dulu banget, pas Ramadhan
Depok, 23 ktober 2004
Dikirim di Republika rubrik Resonansi. Tapi Ga dimuat. Ya iyaaaalah!! Aku aja yg ga tau diri dan ga tanya dulu. Rubrik resonansi mah khusus bwt kolumnis handal. Siapa aku? hehe