Saya Robot Mama
Menjadi anak perempuan yang lahir era kemerdekaan, bukan berarti bebas menentukan masa depan sendiri. Kebebasan dirasakan sebagai hal yang langka bagi Hamda. Sejak kecil, remaja asal Jakarta ini harus selalu menurut dengan pilihan Mama. SD ditentukan Mama. SLTP di pilihkan Mama. SMA juga masih harus mematuhi Mama. Bahkan, setengah tahun yang lalu, dia harus rela meninggalkan kursi di jurusan yang dia dapat dari SPMB 2004 karena tidak sesuai dengan keinginan Mama. Sebagai gantinya, dia kuliah di program diploma yang dipilihkan Mama.
Sebagai anak pertama, kasih sayang yang diberikan Mamanya memang tak diragukan. Jika minta uang misalnya, Mama selalu memenuhi keinginan Hamda. Tapi untuk urusan akademis dan pergaulan, keinginan Hamda seakan tak kunjung sampai. Dengan siapa Hamda kecil bermain, Mamanya lah yang menentukan. Kondisi ini berlangsung hingga Hamda menginjak usia remaja. Bahkan, dengan siapa kalau menikah nanti, semua sudah ditentukan sejak Hamda masih kecil. Namun, Hamda tak bisa menolak. Remaja bertahi lalat di bibir ini tak tega melihat Mama menangis jika keinginannya tak terpenuhi.
“Saya merasa seperti robot”, ujar Hamda. “Teman-teman juga bilang saya seperti robot yang dijalanin Mama”.
Hamda tak sendirian di sini. Banyak anak-anak yang hidup di bawah asuhan orang tua yang banyak membatasi gerak anak. Adakah kaitannya dengan kemampuan anak memandang diri mereka sendiri?
Konsep Diri
Kesuksesan seseorang sangat tergantung pada pandangan mereka tentang diri mereka sendiri. William D. Brooks mendefinisikan hal ini sebagai konsep diri (self consept), yaitu pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Pandangan Hamda bahwa dia seperti robot misalnya, sangat menentukan bagaimana dia berperilaku. Sebagaimana robot yang dirancang untuk melakukan gerakan-gerakan terprogram, anak yang dibesarkan oleh orangtua yang selalu mengatur akan tidak terbiasa jika melakukan hal-hal yang bukan instruksi dari orangtua. Dengan kata lain, anak tak berani melakukan kegiatan yang merupakan inisiatif sendiri. Ada keinginan untuk melakukan sesuatu, tapi jika orangtua tak menghendaki, dia tak berani malakukan. Walaupun kegiatan sekolah. “Saya nggak pernah ikut ekstrakurikuler, nggak boleh”, kata Hamda. “Makanya, sampai sekarang saya nggak tahu bakat saya apa. Minat juga nggak jelas. Semua ‘kan sesuai keinginan Mama”.
Konsep diri yang negatif membuat anak memandang dirinya lemah, tidak berpotensi, tidak dapat berbuat apa-apa, dan malang. Anak dengan konsep diri yang negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Anak akan mudah menyerah sebelum bertanding. Jika gagal, akan menyalahkan diri sendiri atau orang lain. Sedangkan anak yang mempunyai konsep diri yang positif akan bersikap lebih optimis. Dia akan percaya diri dan lebih siap menghadapi kegagalan. Segala kegiatan yang positif dan berguna untuk masa depannya, mampu dijalani. “Kalau urusan akademis, sejak SMA saya diberi kebebasan menentukan sendiri. Saya bebas ikut ekstrakurikuler. Saya jadi tahu bakat dan minat saya”, kata Kunta, mahasiswi sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta.
Dalam konsep diri terdapat beberapa unsur. Pertama, penilaian diri, yaitu pandangan diri anak terhadap pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri. Bagaimana anak mengetahui dan mengendalikan dorongan kebutuhan dan perasaan-perasaan dalam diri anak. Suasana hati yang sedang dialami anak seperti bahagia, tertekan, sedih atau cemas akan mempengaruhi konsep diri anak, positif atau negatif. Kedua, penilaian sosial, yaitu evaluasi terhadap bagaimana anak menerima penilaian lingkungan sosial terhadap dirinya. Penilaian sosial terhadap bahwa anak itu cerdas dan supel akan mampu meningkatkan konsep diri dan kepercayaan diri anak. Adapun pandangan lingkungan pada anak bodoh atau tidak kreatif akan menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk. Ketiga, citra diri (self image) yaitu merupakan gambaran siapa saya (who am I), saya ingin menjadi apa (self determination), dan bagaimana orang lain memandang saya.
Anak yang dibesarkan oleh orangtua yang selalu mengatur cenderung tidak mengetahui self determination. “Karena terlalu sering tidak diberi kesempatan menentukan keinginan, sekarang semua saya serahkan ke Mama aja” kisah Hamda. Hal ini akan mengakibatkan anak mempunyai ketergantungan besar pada orang tua. Anak akan merasa tidak siap jika harus merancang sendiri masa depannya.
Pola Asuh
“Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar sabar. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri”. Penggalan puisi karya Dorothy law Notte ini cukup menggambarkan betapa lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan anak. Begitu juga dengan pembentukan konsep diri pada anak. Pola asuh orang tua menjadi faktor yang signifikan dalam pembentukan konsep diri. Pola asuh orang tua merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja oleh orang tua untuk lebih efektif memelihara anak-anak mereka. Menurut Baumrind, ada tiga pola asuh yaitu pola asuh authoritarian parents (otoriter), permissive parents (permisif), dan authoritative parents (otoritatif). Orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif akan memberi kebebasan pada anak namun tetap mengontrolnya. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan konsep diri adalah kegagalan, kritik internal, dan depresi. Kegagalan yang terus-menerus dialami anak dapat membuat dia berkesimpulan bahwa penyebabnya adalah kelemahan diri sendiri. Kritik internal terkait dengan penilaian anak terhadap diri mereka. Penilaian ini berfungsi sebagai atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
Merubah konsep diri
Konsep diri bukanlah hal yang tidak bisa diubah. Konsep diri bersifat dinamis sehingga dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Apabila ternyata penyebab munculnya konsep diri yang negatif berasal dari pola asuh yang keliru, maka sebagai orang tua sudah saatnya merubah perlakuan terhadap anak. Cara-cara lain untuk merubah konsep diri adalah ajari anak bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri. Adakalanya, orangtua tak perlu overprotective. Anak pun perlu mengikuti kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan talenta, bakat, dan potensi dirinya. Anak perlu mengetahui minatnya. Dengan demikian, ketika orangtua tak mampu menuntun lagi, anak sudah sanggup menentukan bagaimana rencana untuk masa depannya. Belajar menghargai diri sendiri penting bagi munculnya konsep diri yang positif. Dengan menghargai diri sendiri, anak tidak akan terus menerus menyalahkan diri sendiri secara berlebihan bila mengalami kegagalan. Menyalahkan diri sendiri merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustrasi. Dan yang utama adalah ajak anak untuk selalu berpikir positif dan rasional.
Depok, 5 Januari 2005
Aduhh... ni juga tulisan jadulku. Dulu pas kuliah "menulis features", syarat biar UASnya dapat bagus adalah nyetorin tulisan yang udah dimuat di koran. Nah, tulisanku ni, dengan sedikit memaksa, aku kirim ke Bang Nurul Hamam / REPUBLIKA. Tentu saja sambil meratap agar dimuat. Tapi... ya ampyuuun... Aku ga tau diri yah emang. Mana bisa tulisan kayak gini dimuat. So.. aku mesti pasrah, nilai "menulis features" ku cuma : C. Alkisah, aku mengulang matkul ini di semester berikutnya. Dan nilaiku berubah! C+. Hahaha... Diinget2... rajin juga jaman dahulu. Matkul ga wajib aja sampe mau mengulang. Hiks!