Sapu, Pulpen, Kebahagiaan
Ada dua pekerjaan yang saya sukai.
Pertama, pekerjaan belambang sapu: pekerjaan-pekerjaan domestik seperti
menyapu, mencuci piring, dan
kawan-kawannya. Entah kenapa, sejak saya mampu mengingat, saya dari dahulu suka
dengan pekerjaan domestik. Jika saya bosan menghadapi rumus matematika, fisika,
hafalan-hafalan biologi, sejarah, dan geografi, maka di rumah saya betah
berjam-jam menyapu, mencuci, mengepel, dan membereskan yang perlu dibereskan.
Jika liburan sekolah tak kunjung usai, saya bosan, maka saya pergi ke mushola
rumah atau sekolah, mengambil mukena-mukena untuk saya cuci, menyapu yang bisa
disapu. Begitupun saat kuliah, jika saya tak muncul di muka umum, maka hampir
dapat dipastikan saya sedang berkencan dengan pekerjaan-pekerjaan dometik.
Maka, jika ditanya seandainya saya tak mampu sekolah tinggi, apa takdir
pekerjaan yang masih saya terima dengan ikhlas? Saya akan menjawab dengan
mantap: pembantu rumah tangga. Sederhana, pekerja yang tekun, bekerja sebaik
mungkin agar rumah nyaman dihuni. Tampak perkasa dengan sapu dan lap pelnya.
Pekerjaan kedua, berlambang
pulpen, menulis. Saya sangat suka menulis. Dahulu, jika rumah sudah beres,
pilihan saya antara tidur atau menulis. Tetapi saya lebih suka menulis. Bukan,
bukan menulis novel atau cerpen yang
menghasilkan uang. Saya hanya menulis diary. Berlembar-lembar saya menulis,
menulis apa saja, penting-tidak penting. Hanya karena melihat orang syndrom down yang biasa bermain di dekat
sekolah, saya sedih berlembar-lembar. Hanya karena melihat seorang siswi dengan
dandanan menor, saya marah berlembar-lembar. Hanya karena bertemu secara tak sengaja dengan kawan, saya
senang berlembar-lembar. Maka, jika ditanya kalau mampu sekolah tinggi, apa
takdir pekerjaan terbaik yang saya inginkan? Saya menjawab : penulis, tepatnya
wartawan, lebih tepatnya wartawan perang atau di daerah konflik. Bayangan saya,
pasti sangat seru! Saya akan tampak “gagah berani” berlari-lari mengenggam
pulpen, dengan backsound dentuman bom dan tank-tank yang berseliweran. Ooh,
tapi tentu saja akan membuat deg-degan orangtua sepanjang masa. Jadi, saya
beralih membayangkan menjadi seorang novelis saja. Pergi kemana-mana untuk
launching buku, sibuk memberi tanda tangan
untuk para fans. Kemudian jika novel saya akan diangkat ke layar lebar,
saya akan sibuk dipotret para wartawan, masuk ke berbagai siaran infotainment,
berlembar-lembar tabloid memajang foto saya. Rich and Famous! Fantastis.
Tapi, itu bayangan dahulu.
Bagi saya, mengerjakan pekerjaan
domestik dan menulis mempunyai satu persamaan saja. Keduanya dikerjakan untuk
menemani sang waktu. Bagi saya, waktu ibarat orang yang sendiri, tapi sendiri
tak selalu yang bersedih, ia pun bisa gembira. Satu hal yang niscaya dibutuhkan
bagi kesendirian adalah pertemanan. Sang waktu perlu ditemani, agar ia tak
berubah menjadi singa yang menerkam, agar tak berubah menjadi penari molek yang
melenakan, agar tak berubah menjadi batu yang hanya teronggok di pinggiran
sungai. Sang waktu perlu ditemani, agar ia menjelma matahari yang kehangatannya
membangunkan seisi dunia, agar ia menjelma embun yang menyejukkan, agar ia
menjelma angin yang meniupkan spora-spora kehidupan.
Semua bermuara pada kebahagiaan. Sungguh,
apakah yang lebih penting di dunia ini dibanding kebahagiaan?
Maka, saya mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan domestik saat ini bukan karena saya pembantu, tapi karena
saya sedang mencari kebahagiaan. Kebahagiaan berbagi kenyamanan. Saya menulis bukan karena saya ingin terkenal dan eksis,
tapi karena saya mencari kebahagiaan. Kebahagiaan berbagi manfaat.
Semoga bermanfaat, kawan!
Semoga bermanfaat, kawan!