PhD : Indonesia: Rain and Rice
Secara sadar atau tidak sadar, setiap orang pasti ingin membanggakan atau membawa nama baik negaranya. Misal saya, kalau promosi tentang Indonesia di hadapan orang Pakistan, maka saya akan mengatakan hal ini:
"Indonesia is a beautiful country,
Negri Kepulauan,
Kami punya lautan luas,
Cuacanya normal,
Tidak terlalu panas,
Tidak terlalu dingin,
Kami bisa hidup tanpa AC,
Kami bisa hidup tanpa heater,
Dan yang penting, saya bisa makan ikan sepuasnya, sepanjang tahun! Itu favorit saya."
Maka, saya pun sepakat dengan kata orang, Indonesia adalah surga dunia. Seperti saya, orang-orang Pakistan pun akan membanggakan negaranya.
"Pakistan is a moslem country,
Adzan berkumandang dari segala penjuru,
Dinasti Mughal yang terkenal pernah berjaya di sini,
Kota tua Harappa yang sangat populer di buku-buku sejarah ada di sini,
Kami punya lembah Swat yang indah,
Kami punya salju di Murree dan Gilgit yang menawan,
Kami punya Lahore, kota seribu taman yang hijau,
Kami punya makanan-makanan yang super lezat dan dijamin halal."
Rasanya keindahan negara sendiri tidak perlu diperdebatkan. Namun ketika masing-masing sudah saling mengunjungi negara, maka di situlah perdebatan dimulai.
"Mana Indahnya Pakistan? Bom di mana-mana dan siap meledak tanpa kita tahu!"
Dan orang Pakistan pun akan mengatakan dengan penuh ketakutan,
"Mana yang Anda bilang Indonesia adalah surga? Gunung berapi di mana-mana dan siap meletus tanpa kita tahu! Lautan luas, orang-orang makan ikan di pesawat, tidak lama kemudian mereka menjadi makanan ikan-ikan di laut"
Ah, ayolah berhenti berdebat. Lebih baik menghidupkan kembali kehidupan kita tanpa amarah dan keluhan. Saya misalnya, mulai menikmati kembali kehidupan sosial saya. Saya bertemu dengan seorang wanita dari Eropa yang sudah sekitar sepuluh tahun tinggal di Pakistan. Dalam balutan jilbab putihnya, wajah Eropanya tampak lebih mempesona. Kami duduk berdua di taman rumahnya yang cantik, sambil memandangi Abrar dan Arifa yang sedang ayunan.
Mrs. Eropa : Apa kamu ada kesulitan tinggal di sini?
Saya : Ya, untuk orang Indonesia seperti saya, cuaca di sini sangat ekstrem, terlalu panas di musim panas, dan terlalu dingin di musim dingin. How about you?
Mrs. Eropa : Kalau musim dingin tidak masalah, karena di negara saya lebih sangat dingin, snow! Tapi musim panas, saya tidak kuat. Ohya, saya pernah ke Indonesia, ke Bandung, beberapa tahun lalu.
Saya : Bagaimana pendapat Anda tentang Indonesia?
Mrs. Eropa : Indonesia, Bandung adalah kota yang sangat bagus. Cuacanya normal. Orang-orangnya santun, ramah, dan suka menolong.
Saya : (Serasa ingin terbang nih saya dipuji seperti itu)
Mrs. Eropa : But....
Saya : Tetapi apa?
Mrs. Eropa : Kami kemana-mana selalu bertemu dengan nasi. Acara di sini nasi, di sana nasi. Kami mencoba mencari-cari tempat makanan yang cocok untuk kami, belum sempat ketemu tapi kami sudah lapar, jadi nasi lagi. Saat kesana, Bandung setiap hari hujan. Hujan lagi, hujan lagi. Jadi kesulitan saya adalah rain and rice, rain and rice, rain and rice.
Yah, rain and rice. Dua ciri khas Indonesia yang ternyata tidak semua orang asing bisa menikmatinya.
Di Lahore, jika musim peralihan, hujan akan datang beberapa saat. Nah, biasanya jika hujan turun di pagi hari, sekolah sepi. Banyak anak (atau orangtuanya) yang malas keluar rumah pagi-pagi menerobos hujan. Kabut yang dingin menggigit lebih baik bagi mereka. Ada anak seorang kawan (turunan Indonesia dan Pakistan) yang tidak berangkat sekolah karena hujan. Saya langsung komentar "Katanya mau tinggal di Indonesia, di sana hujan setiap hari, masa' kamu nanti bolos sekolah setiap hari?"
Yah, orang-orang Pakistan sangat takut hujan.
Satu lagi: apalagi dengan adanya hujan, nyamuk sangat subur berkembang biak. Orang-orang dari negara empat musim, mana berani dengan nyamuk?
Pakistan Houswife's Diary
Lahore, 24 Maret 2015
Penghujung musim semi