Curhat di Media Sosial
Akhir-akhir ini saya melihat tren berkurangnya rasa malu di hati para wanita, dalam hal mencurahkan isi hati. Dahulu, mencurahkan isi hati di diary, dikunci, sendirian, disimpan rapi-rapi. Zaman sekarang, curahan hati diobral, layaknya barang dagangan. Siapapun boleh tahu, siapapun boleh melihat-lihat. Masalah di sekolah, kantor, di rumah, semua diobral.
Pantaskah hal tersebut? Seyogyanya, sebagai muslimah, kita tahu kepada siapa harus mencurahkan hati dan kekurangan-kekurangan hidup kita. Allah SWT lah yang Maha Mendengar segala keluhan. Setelah itu pilihlah orang-orang dekat untuk mencurahkan masalah, seperti pasangan yang sah, orang tua, mertua, saudara kandung, atau orang-orang yang dirasa tepat untuk mencarikan solusi.
Sungguh memprihatinkan, kecanggihan teknologi telah melunturkan sifat malu dan penjagaan harga diri. Alih-alih berkata "ingin berbagi hikmah", namun yang terjadi adalah terobralnya aib diri sendiri, kambuhnya penyakit ingin poluler (menghitung-hitung banyaknya jumlah like, comment, share, dan follower), juga menularkan virus-virus keburukan dalam masyarakat (virus kepo; ingin tahu dan ikut campur urusan orang, dan gosip/ghibah). Selain itu, banyaknya wanita yang curhat di media sosial juga mengubah persepsi bahwa curhat di media sosial adalah hal yang pantas-pantas saja, bukan aib, bahkan mungkin dianggap "keren". Hal ini yang memprihatinkan.
- In My Humble Opinion -