Diary Cucu Lucu (Part 1)

Kata Pengantar
Serba Double
Mempunyai anak-anak itu….

Kalau lagi pada rewel, keselnya double.
Kalau lagi pada rusuh, berantakannya double.
Kalau lagi pada nangis, berisiknya double.
Kalau lagi berantem, emosinya double.

Hmmmm,

Tapi, kalau lagi pada manis, senengnya double juga.
Kalau lagi lucu, tertawanya double juga.
Kalau lagi nurut, terharunya double juga.
Pahala Ummi Abi, insyaallah double juga.

Nah, dalam diary ini, Ummi mencoba mengingat-ingat kisah keseharian bersama anak-anak. Sayangnya, diary ini nggak pakai tanggal, karena Ummi lupa. Tapi yang jelas kisah-kisah ini kejadiannya antara Dik Arifa usia baru lahir sampai 21 bulan dan antara Mas Abrar usia 15 bulan sampai 3 tahun.

Semoga suka ya.

Ummi Abrar,
Cimanggis, 22  Juli 2012


(1)
Satu Jari Untuk Dik Arifa

Mas Abrar dan Dik Arifa menyusu bersama-sama selama sembilan bulan. Mas Abrar di sebelah kanan, Dik Arifa di sebelah kiri, atau sebaliknya. Saat Dik Arifa baru lahir, Mas Abrar masih berusia 15 bulan. Ada kebiasaan lucu mereka saat menyusu. Mas Abrar suka memberikan satu jarinya untuk dipegang Dik Arifa. Hampir selalu begitu.

Seiring dengan suksesnya ASI eksklusif (6 bulan), Dik Arifa tumbuh besar dan gemuk. Telapak tangannya tentu saja ikut tumbuh besar. Nah, itu yang belum dipahami Mas Abrar. Mas Abrar tetap saja memberikan satu jarinya ke Dik Arifa.

“Mas Abrar, sekarang Dik Arifa sudah besar. Kalau Mas Abrar ngasih lima jari juga bisa kok digenggam Dik Arifa”, kata Ummi sambil memberikan lima jari Mas Abrar untuk digenggam Dik Arifa.

Mas Abrar rupanya suka hal itu. J



(2)
Handuk dan Angguk

Menjelang usia satu tahun, Dik Arifa makin bertambah ketrampilan berkomunikasinya.

Ummi      : Dik Arifa, mandi yuk….!
 Arifa      : (Menatap ummi, sambil mengangguk-angguk)
Ummi      : Nanti main di halaman, mau…?
 Arifa      : (Menatap ummi, sambil mengangguk-angguk)
Ummi      : Iih…. Dik Arifa pinter, tahu mengangguk-angguk!
 Arifa      : (Menatap ummi, sambil mengangguk-angguk)
Ummi      : Handuk dik arifa mana ya?
 Arifa      : (Menatap ummi, sambil mengangguk-angguk)

Cut…..! Dialog udah ga nyambunggg……. Angguk dan handuk dikira sama ya. Yang pentiiing tertawaaaa.



(3)
Dimana Tempat Kerja Ummi?

Ini percakapan sewaktu Mas Abrar baru belajar ngomong.

Ummi      : Mas, Abi mana?
Abrar      : Ja… (kerja)
Ummi      : Dimana?
Abrar      : Jauuh… tih mobih ( Jauh, nyetir mobil)
Ummi      : Kalo Yangti?
Abrar      : Ja… (kerja)
Ummi      : Dimana?
Abrar      : Jauuh… tih mobih ( Jauh, nyetir mobil)
Ummi      : Kalo Yangkung?
Abrar      : Ja… (kerja)
Ummi      : Dimana?
Abrar      : Jauuh… tih mobih ( Jauh, nyetir mobil)
Ummi      : Kalo Ummi?
Abrar      : Ja… (kerja)
Ummi      : Dimana?
Abrar      : di dapuh (dapur!!!)
:) :) 


(4)
YangTi Telepon = YangTi Datang

Ummi sedang menerima telepon dari YangTi. Seingat ummi, itu hari kamis sore. Habis itu, Ummi mengajak Mas Abrar mandi. Mas Abrar masih kecil waktu itu, sekitar 2 tahun.

Ummi      : Mas…, mandi yuk…
 Abrar     : Mana Mi? Buka gebah… Mah Atii… (Buka gerbang, ke rumah YangTi)

Wuahahaha….. Mas Abrar berpikir, kalau ada telepon dari YangTi, berarti Mas Abrar mandi dan bukain gerbang buat YangTi, lalu naik mobil merah ke rumah YangTi. Hehehe



(5)
Sengaja Menangis

Mas Abrar, kecil-kecil sudah pinter merencanakan sesuatu.

Ummi      : Mas, nanti di sekolah jangan nangis ya!
Abrar      : Aiis…. (nangis)
Ummi      : Kenapa pake nangis?
Abrar      : nyai Ummi (nyari ummi, sambil tertawa lepas)

Nah, kalo yang begini, artinya “ngeledek” Ummi. Solusinya: antarin saja ke sekolah. Benar, sampai kelas, nangis sambil teriak-teriak “Ummi Abaw manaaaa……”. Nah, gantian ummi yang tertawa-tawa di rumah. Hehehe.  Biasanya, Mas abrar lima menit saja menangis. Setelah itu lupa ummi dan sepulang sekolah pun lupa masuk rumah, maiiiiin aja di halaman. Hehehehe.


 (6)
Nikmatnya Susu Botol

Dahulu, sebelum usia satu tahun, Dik Arifa sangat terobsesi dengan susu UHT yang kotak kecil dan susu formula milik Mas Abrar. Padahal ‘kan belum boleh, karena tidak cocok untuk anak di bawah satu tahun. Nah, kalau Dik Arifa anteng tentrem saat itu, patut dicurigai.

Suatu hari, Dik Arifa dipanggil-panggil tidak datang. Padahal biasanya mencoba merangkak mendatangi Ummi dan Mas Abrar. Setelah ditengok, ternyata di kamar sedang minum susu botol Mas Abrar yang sedang tergeletak di kamar.  Nikmatnya…., minum sambil rebahan di bantal, dan senyam-senyum. Hemmmmmh L



(7)
Bau Kaki

Ingat satu pesan penting, jangan merendahkan diri di depan Mas Abrar, meskipun hanya untuk maksud menakut-nakuti.

Nah, suatu hari Mas Abrar sedang senang menggigit-gigit Ummi. Kali ini, kaki ummi digigit-gigit. Sakiiit sekali.

Ummi      : Mas…. Tolooong…. Jangaaan….. kaki ummi sakittt…
Mas Abrar tidak peduli. Malah makin keras.
Ummi      : Mas, nanti nggak Ummi ajak jalan-jalan nih!
Mas Abrar tidak peduli, makin keras gigitannya.
Ummi      : Mas….. Awaaas, kaki Ummi bauu…
Segera saja, Mas Abrar melepas gigitannya.

Beberapa hari kemudian, kami sedang bermain di ruang tengah. Tiba-tiba tercium suatu bau, yang sepertinya dari rumah tetangga.

Abrar      : Bau apa nih?
Ummi      : Tunggu… Ummi tebak-tebak dulu…..
Abrar      : Mi, bau kaki ummi…..
Ummi marah sambil mengejar-ngejar Mas Abrar yang tertawa lepas. L L


(8)
Rajin Membantu

Dik Arifa paling senang diajak belanja ke warung. Waktu itu, dik arifa sudah bisa berjalan. Saking senangnya berjalan, Dik Arifa tidak mau digendong. Ditambah lagi, Dik Arifa bersikeras membawa belanjaan Ummi. Rajin sekali memang anak gadis Ummi. Hehehehe. Karena cukup berat, Dik Arifa membawa dengan dua tangan. Dik Arifa juga sering berhenti karena berat, bahkan kantong belanjaan diseret-seret di tanah (untung tidak ada telurnya, hehehe).

Setiap kali Ummi meminta kantung belanjaan, Dik Arifa makin erat memegang kantung sambil marah-marah. Ya sudah, daripada ribut, Ummi membiarkan Dik Arifa yang sedang rajin membantu. Setelah hampir sampai mulut gang, tiba-tiba kantung belanjaan digeletakkan di tanah dan Dik Arifa mendekat ke Ummi minta gendong. Nah, lhooo……Ummi bilang apa…. Hehehehe.



(9)
Mendapat Contekan

Setiap hari Jumat, Mas Abrar belajar Iqro di PlayGroupnya. Mas Abrar memang belum begitu mengetahui huruf-huruf hijaiyah, karena masih lebih suka bermain dan berlari-lari di kelas.

Suatu Jumat, Bu Guru meminta Mas Abrar membaca Iqro 1. Bu Guru heran, kok Mas Abrar sangat lancar membaca. Bu Guru kemudian mengalihkan pandangan dari buku Iqro ke Mas Abrar. Apa yang terjadikah?

Ternyata, di dekat Mas Abrar ada Azkia, temannya, yang sambil menggingit kerudung membisikkan bacaan-bacaan di buku Iqro.

Gubrraaaak! Kecil-kecil sudah mendapat contekan, hehehe.



(10)
Kangkung Untuk Ayam Pak Haji

Sepertinya belum lengkap pagi Dik Arifa kalau belum melihat ayam-ayam milik Pak Haji di dekat rumah. Nah, sebelum ke warung Dik Arifa hampir selalu mampir dahulu di dekat kandang ayam, melihat ayam-ayam Kate, ayam ‘ketawa’, dan ayam jago yang gagah. Saat itu ayamnya sedang makan. “Dik Arifa, sayangnya kita nggak bawa makanan ya buat ayam-ayam”, kata Ummi. Usai puas melihat ayam, Dik Arifa berjalan lagi mengikuti Ummi ke warung,

Pulang dari warung, Ummi melihat Dik Arifa membawa sebatang kangkung. “Lho, Dik, dapat darimana? Buang aja ya?” Dik Arifa marah, tidak mau membuang sebatang kangkung itu.

Sampai di dekat rumah Pak Haji, Dik Arifa berjalan menuju kandang ayam. “Ayaaaaah….. makaaah….. (Ayam, makan)”, kata Dik Arifa sambil mencoba memasukkan kangkung ke kandang ayam.
Hehehe, mungkin Dik Arifa berpikir ayam-ayam itu seperti juga kelinci yang di halaman rumah, bisa makan kangkung dan sayuran lain. :)


(11)
Kupu-Kupu Jelek

Suatu siang, Ummi sedang memasak. Mas Abrar bobo nyenyak. Dik Arifa ikut repot membantu Ummi. Setelah cukup bosan bermain masak-masakan, Dik Arifa ke ruang tengah. Dik Arifa mengambil entah kertas atau plastik, kemudian dikepak-kepakkan kedua tangannya sambil berputar. Bernyanyilah Dik Arifa:
“Puuu….puuu….puu…puu….. ee..lek”. Begitu berulang-ulang.
“Dik, bentar-bentar, kok nyanyinya seperti itu? Kupu-kupu yang lucu dong..” Kata Ummi.
“Puu…puuu….pu…pu…. eee… lek”, kata Dik Arifa
“Lho kok jelek? Kayak kalau Mas Abrar nyanyi aja. Siapa yang ngajarin? Mas Abrar atau YangKung?”
“Aaa Kuuuh…. (YangKung)” kata Dik Arifa.

Hayooo YangKung tanggung-jawab niiih…., hehehe :)



 (12)
Libur Sekolah Setiap Hari

Ada masanya Mas Abrar rajin sekolah, ada masanya Mas Abrar menangis-nangis sebelum sekolah ( di PlayGroup untuk anak usia 2 – 3 tahun). Setiap kali diminta mandi pagi, Mas Abrar melihat jendela rumah yang langsung berhadapan dengan halaman sekolah.
Abrar      : “Ummi, nggak da temen Mas Abaw…”
Ummi      :“Ya iya dong, ‘kan masih pagi banget, teman-teman   Mas Abrar sedang makan di rumah”
 Abrar     : “Libuh (libur) kali Mi…”
Ummi      : Libur? Libur terus Sayang?
Abrar      : Liiiiibuuuuuh….. (sambil mulai menangis)

Yah, begitulah, namanya juga masih PlayGroup. Mas Abrar akan menangis sejak dimandikan sampai berontak tidak mau memakai seragam dan sepatu. “Ya udah, Mas Abrar pakai baju apa maunya? Terus kita main prosotan ya di halaman’, bujuk Ummi.

Biasanya, menangis di awal, sampai Ummi gendong  masuk kelas. Tapi kalau sudah di kelas, Mas Abrar berhenti menangis. Hobinya, lari-lari di kelas! Kalau sudah waktunya pulang, Mas Abrar tidak mau pulang. “Maiiiiiin Miiiii,”katanya. J


(13)
Yang Penting Sudah Mundur

Mas Abrar suka menonton TV dari jarak dekat. Tentu saja ini membuat Ummi dan Abi ‘marah’. Mas Abrar diminta mundur. Abi menaruh boneka kelinci sebagai penanda dimana semestinya Mas Abrar duduk.

Mas Abrar pun mundur, tepat di dekat boneka kelinci. Lho…… tapi kok boneka kelincinya diambil, Mas Abrar maju lagi ke dekat TV.

“Yang penting sudah mundur dan duduknya dekat kelinci ‘kan Bi….” Mungkin begitu pikir Mas Abrar. Hahahaha…..



(14)
Hitungan Kesepuluh

Mas Abrar suka sekali bermain gorden. Gorden ditarik-tarik, diputar-putar. Abi dan Ummi tidak suka, karena pengait-pengait gorden bisa putus.

“Mas, Ummi hitung ya sampai sepuluh, kalau Mas Abrar tidak berhenti, nanti Ummi hokum, masuk kamar Abi sendirian”, kata Ummi.

Ummi mulai menghitung. “Satu, dua, tiga,…., tujuh,…” Belum selesai sampai sepuluh, Mas Abrar pun berhenti menarik-narik gorden.

“Bagus!”, kata Ummi.

Ummi pun beranjak meninggalkan Mas Abrar. Lho….kok…. Tidak lama kemudian, Mas Abrar menarik-narik gorden lagi.

Ck…ck….ck…..”Yang penting tadi sebelum hitungan sepuluh udah berhenti ‘kan, Mi….” Mungkin seperti itulah pikir Mas Abrar, membuat Ummi gemas. Tapi lucu.


(15)
Dihukum, Senyam-Senyum

Sejak Dik Arifa kira-kira satu setengah tahun dan memahami arti kata “pi-pis”, ada hal baru untuk Dik Arifa. Ummi memang tidak memakaikan diapers di rumah, jadi Dik Arifa harus bilang kalau mau pipis. Apalagi, Dik Arifa sudah bisa ngomong “pi-pis”.

Jika Dik Arifa pipis di lantai, maka ada hukumannya : masuk ke kamar, lampu dimatikan, pintu ditutup sampai hitungan kesepuluh. Setelah itu, Dik Arifa harus membantu Ummi mengepel.

Hukuman itu juga berlaku buat Mas Abrar ketika Mas Abrar kecil. Mas Abrar, kala itu takut sendirian, jadi “kapok” pipis di lantai. Singkatnya, hukuman ini manjur dan coba akan diterapkan ke Dik Arifa.

Dik Arifa memang anak baik. Kalau ingin pipis, akan memperlihatkan tanda-tanda atau mengatakan ingin pipis. Tapi, kadang jika keasyikan bermain, Dik Arifa enggan ke kamar mandi. Pipislah di lantai.

“Dik, tahu ‘kan kalau pipis di lantai akan Ummi apakan? Dik Arifa harus dihu…..”, Ummi berharap Dik Arifa yang meneruskan kata terakhir.
“kuh…..(kum)”, benar saja Dik Arifa meneruskan kata terakhir.
“Berapa hitungan ya? Sepu….”
“luuuh….”, entah hafalan atau tidak sengaja, Dik Arifa tahu lagi kata terakhir.
“Oke, silahkan Dik Arifa jalan ke kamar Abi”.

Tanpa dipaksa, Dik Arifa berjalan ke kamar Abi, Ummi mematikan lampu dan menutup pintu dari luar. Lho, kok nggak ada teriakan atau rengekan ya? Sampai hitungan sepuluh, pintu dibuka. Lho……Dik Arifa malah sedang bersantai di tepi tempat tidur sambil senyum-senyum dan menggoyang-goyangkan kaki.

Wuaaalaaaah…………..Nggak mempan toh ternyata hukuman ini. Ternyata tempat tidur Abi memang salah satu tempat favorit Dik Arifa.

Oke, lain kali Ummi mengganti hukumannya J.



(16)
Tebak-tebakkan Imajinasi

Mas Abrar sedang senang berimajinasi. Ketika melihat awan, Mas Abrar bertanya “Ummi, awannya bentuk apa tuh”.
“Mmmm…. Kalau menurut Ummi, awannya bentuk kalajengking!”
“Bukaaaaaaan….. itu kuwa-kuwa (kura-kura)”, ralat Mas Abrar. (Ummi bingung mode-on, tapi mengiyakan)

Lain waktu, Mas Abrar membuat suatu bentu dari lego.
“Ummi, ini apa?”
“Apa ya….., kalau menurut Ummi itu robot”
“Bukaaaaaaaan, ini helikopteh (helikopter) Mi…..”
Oh, oke-oke. Ummi salah lagi.

Lain waktu lagi, Mas Abrar menaruh kapur dibawah truk mainannya.
“Ummi, ini apa?”
“Itu knalpot truk?”, jawab Ummi
“Bukaaaaan…., ini tuk (truk) ngebut”, ralat Mas Abrar.
Hah? (Ummi bingung) Stop!
Catatan penting : permainan paling susah adalah menebak imajinasi Mas Abrar. Ummi salah melulu, hihihihi.


(17)
Abi Datang = Ke Masjid

Dik Arifa sudah mulai diajak ke masjid. Agar tidak ribet ganti baju, Dik Arifa memakai jaket pink dan jilbab bila ke masjid. Ada masanya Dik Arifa rajin ke masjid. Saat terdengar adzan Ashar, Dik Arifa minta diambilkan jaket pinknya.
“Ket… ket…”, kata Dik Arifa sambil menunjuk-nunjuk jaket pink yang menggantung di balik pintu kamar.
“Lho, memang Dik Arifa mau kemana?”
“Jid…. Jid…”
“Ke masjid? Kan kalau ada Abi ke masjidnya. Kalau tidak ada Abi, Dik Arifa sholat di rumah sama Ummi dan Mas Abrar”.

Setelah diberi penjelasan, Dik  Arifa menurut. Tidak lama kemudian, sekitar jam 16.00 Abi pulang kerja. Dik Arifa serta merta ke kamar.
“Ket…. Ket…   Ma-jiiid….”, seru Dik Arifa sambil menunjuk jaket pinknya.
Oooh, Dik Arifa mau ke masjid karena Abi sudah pulang. Padahal Abi sudah sholat Ashar di Masjid. Dengan jurus ini-itu, akhirnya Dik Arifa mau dibujuk agar ke masjidnya nanti Maghrib saja. J


(18)
Minum Teh

Dik Arifa suka teh (orang Tegal gitu lho…). Kalau melihat Ummi menaruh panci di atas kompor, Dik Arifa hampir selalu berpikir Ummi akan memanaskan air dan membuat teh, meskipun itu tidak selalu benar. Nah, suatu siang, entah karena apa, tiba-tiba Dik Arifa minta dibuatkan teh.
“Teh… teh…”, kata Dik Arifa sambil mengambil gelasnya di rak. Gelas dengan dua pegangan itu memang biasanya digunakan Ummi jika Dik Arifa minta teh.
Baiklah. Ummi menaruh panci di atas kompor, menaruh gula dan teh celup di gelas. Saat akan menuang air di gelas, Dik Arifa langsung mengambil gelasnya.
“Mauuuu”, teriak Dik Arifa sambil menggeleng. Dik Arifa memang masih sering ketinggalan kata “ngga” ketika mengatakan “nggak mau”.
“Lho, katanya mau minum teh?”, tanya Ummi
“Mauuuu……”, kata Dik Arifa lagi sambil menggeleng. Nggak mau, maksudnya.
Dik Arifa tidak mau dituangkan air. Dik Arifa malah mendekatkan gelas yang hanya berisi gula dan teh celup ke bibirnya dan meminum gula-gula itu. Weleh-weleh…….itu mah bener-bener minum “teh”….


(19)
Permisi…..Permisi….

Dik Arifa sedang belajar bersopan santun. Jika bermain perosotan, Dik Arifa belajar antri dengan teman-teman. Jika saat akan meluncur ternyata ada teman yang duduk di ujung perosotan, Dik Arifa belajar mengatakan “permisi”.
“Pi-pi-piiiiii…….”, begitu Dik Arifa mengatakan kata “permisi”.

Suatu siang, Dik Arifa bermain perosotan. Ada teman Mas Abrar yang sedang duduk di ujung perosotan.
“Awaaaaah….. (Awas)!”, teriak Dik Arifa sambil membentak
“Eh, bilang permisi kakak….., bukan awas ya Dik”, kata Ummi.
“Pi-pi-piiiiiii……”, Dik Arifa segera meralat, tapi masih sambil membentak.
“Lho, nggak pake marah-marah Nak, permisi……”, kata Ummi sambil mengajarkan intonasi ketika mengatakan permisi.
“Pi-pi-piiiiiiiiiiiiiiiii”, Dik Arifa melembutkan intonasinya, tapi masih terdengar bahwa Dik Arifa kesal. (Nah lho…..)

Lain waktu, Dik Arifa akan lewat. Jalan yang akan dilewati sedang buat duduk-duduk teman-teman Mas Abrar.
“Awaaah….(Awas)”, seperti biasa, Dik Arifa teriak.
“Eh, yang sopan dong sayang, permisi……. Bukan awas”, kata Ummi
“Pi-pi-piiiii…..”
Bagus! Dik Arifa lulus ‘pelajaran’ sopan santun. Sejak itu, jika akan perosotan atau berjalan tetapi jalannya terhalangi orang, Dik Arifa akan mengatakan “Pi-pi-piiiii”.

Tapi, ada yang membuat ingin tertawa. Dik Arifa mungkin menyimpulkan, jika ingin lewat, jalannya terhalangi, maka dengan kata permisi maka jalannya akan terbuka dan bisa untuk dilewati. Nah, suatu hari, di ruang tengah rumah sedang penuh mainan dan kursi-kursi yang berjejer-jejer. Mas Abrar dan Dik Arifa memang sedang ‘puncak-puncaknya” heboh bermain.
“Pi-pi-piiiiii, pi-pi-piiiii, Pi-pi-piiiiii”, terdengar Dik Arifa minta permisi lewat.
Lho???? Ternyata Dik Arifa akan berjalan dari ruang tengah ke arah dapur, tapi jalannya terhalangi truk-trukan, mobil-mobilan, balon penguin, dan kursi bebek. Mungkin Dik Arifa menganggap kata permisi juga berlaku jika akan melewati maianan-mainan dan berharap dengan mengatakan “Pi-pi-piiiii”,  maka mainan itu akan menyingkir.

Hehehe, ada-ada saja Dik Arifa. Nanti kita belajar membedakan benda hidup dan benda mati ya Nak…. J


(20)
Makanya, Jangan Dijatuhin!

Mas Abrar suka sekali mainan busnya. “Dari Yangti, beli di pasar Momo, naik mobil merah”, Begitu kalau Mas Abrar bercerita asal-usul busnya.

Seperti biasa, pulang sekolah Mas Abrar minta ganti baju dan langsung lari ke tempat mainannya. Langsung diambillah bus kesayangan. Beberapa saat dimainkan busnya, didorong-dorong. Tiba-tiba,
“Mi, kok rucak (rusak) bisnya?”
“Apanya Mas?”
“Ini…..”, nadanya sedih
“Coba bawa kesini”, pinta Ummi yang sedang memasak.

Ummi lihat-lihat kondisi bus.
“Maksud Mas Abrar, ini yang rusak?”, Ummi menunjuk bagian tengah bus. “Ooooh, ini bisa dilakban aja atau dilem”.
“Bukan Mi, Ini…..”, kata Mas Abrar sambil menunjuk spion kiri bus.
“Oh ini, Yaaah, ini mah spionnya patah Nak. Harus dicari dulu patahannya di mana,” kata Ummi sambil mengocok-ngocok bus, barangkali ada patahan gagang spion yang masuk ke dalam bus. Tapi, tidak ada tanda-tanda ada gagang spion di dalam bus.
“Mas, mesti dicari dulu spionnya”, kata Ummi.
“Oooh…., dicayi (cari) dulu yah Mi”, Mas Abrar berbalik sambil memeluk busnya, berjalan kembali ke ruang tengah, sambil sepertinya bersedih.
“Makanya, jangan dijatuh-jatuhin……!”, Mas Abrar bicara pada dirinya sendiri sambil mengelus-ngelus busnya.

Hihihi, sudah paham Mas Abrar rupanya. Iya, biasanya Ummi suka “memarahi” Mas Abrar kalau bermain kasar pada mainannya. Kalau Mas Abrar laporan mainan rusak dan nggak bisa diperbaiki, Ummi biasanya akan panjang lebar mengatakan “Makanya, mainan jangan dijatuh-jatuhin, jangan digapruk-gaprukin ke lantai, jangan ditabrak-tabrakin. Kalau rusak, kan Mas Abrar jadi nggak bisa bermain dengan mainan itu lagi. Kalau mainan rusak karena Mas Abrar mainnya kasar, nggak boleh nangis! Itu salah Mas Abrar sendiri”.

Tapi, siang itu rupanya Ummi tak perlu menasihati panjang-lebar.  Mas Abrar sudah bisa menasihati dirinya sendiri. JJ



(21)
Rapi-Rapi, Kok Tidak Rapi

Dik Arifa suka meniru Mas Abrar. Mas Abrar di sekolah diajarkan merapikan mainan sambil bernyanyi “rapi-rapi, ayo rapi-rapi, Allah suka itu….”. Dik Arifa pun begitu, menaruh mainan kembali ke tempatnya sambil bernyanyi seperti  Mas Abrar, yang jadinya begini: “apiii…apiiii….uka….uka…. apiii apiii, uka uka…..”

Ketika Ummi ikut pengajian dengan mengajak Dik Arifa, Dik Arifa wajib diberi kesibukan agar tidak rewel. Suatu siang, Dik Arifa asyik bermain semacam lego, sementara Ummi mengaji. Saat pengajian usai, Dik Arifa mencoba merapikan sendiri mainannya. Kotak tempat mainan ditaruh di belakang Dik Arifa. Dik Arifa memasukkan lego-lego ke kotaknya tanpa melihat. Setelah habis lego yang depannya, Dik Arifa mengambil kotak legonya. “Hah…., kok cuma tiga biji”, mungkin begitu pikir Dik Arifa, padahal tadi sudah memasukkan semua legonya. Dik Arifa membalikkan badannya, ternyata lego-lego itu tidak masuk ke kotak, melainkan berceceran lagi di sekitar kotak. Dik Arifa pun memasukkan kembali lego-lego itu, kali ini kotak mainan dipegangnya, bukan ditaruh di belakang. Hehe, gayamu Nak….., ada-ada saja.


(22)
Astaghfirullahaladzim, Kok Berantakan

Asisten rumah tangga sedang pulang kampung. Ummi menggantikan tugas beres-beres rumah. Jika ada asisten, rumah rapi jam 09.00. Ketika Mas Abrar pulang sekolah, jam 10.00, rumah sudah siap menjadi arena bermain dan berantakan lagi. Ummi pun mengatur jam kerja. Beres-beres rumah saat Mas Abrar sekolah. Tapi, dengan catatan Dik Arifa bisa diajak kerjasama (baca: bobo atau tidak rewel). Nah, pagi itu, habis mengantar Mas Abrar sekolah, Dik Arifa minta bobo. Ummi tentu sangat senang. Lima menit minum ASI, mata Dik Arifa sudah memperlihatkan tanda-tanda mau tidur. Ditunggu, setengah jam, Dik Arifa masih mengenyot. Satu setangah jam kemudian, Dik Arifa masih saja mengenyot, padahal mata sudah terpejam. Jika Ummi tarik, degan sigap dua tangan Dik Arifa kembali menarik puting susu, tetap dengan mata terpejam. Walhasil, sampai Mas Abrar pulang, Ummi tidak membereskan apa-apa. Semua masih sangat berantakan.

Teng-teng-teng, Jam 10.00. Mas Abrar pulang. Saat memasuki ruang tengah, masih dengan menggendong tas sekolahnya, Inilah komentar Mas Abrar: “As-to-ha-dim…..kok belantakan Mi”  (Meniru Umminya kalau rumah berantakan)J

(23)
Jujur yang Nyebelin

Abi melarang Ummi berbohong kepada anak-anak. Ummi pun melarang anak-anak berbohong pada Ummi. Dik Arifa sedang belajar mengatakan “pipis” jika hendak buang air kecil. Alhamdulillah, meski belum dua tahun, Dik Arifa sudah jarang ngompol di celana dan berceceran di lantai.

“Pi-pis…”, kata Dik Arifa ditengah-tengah waktu bermainnya. Ummi pun mengantar Dik Arifa ke kamar mandi. Benar saja, Dik Arifa pipis, tentu saja sambil mengambil-ambil kesempatan agar bisa bermain air.

Belum seperempat jam setelah buang air kecil tadi, Dik Arifa sudah membuka celana. “Mau apa Dik?”, tanya Ummi. “Pi-pis…..” kata Dik Arifa. “Lho, kan baru aja tadi pipis. Masa udah mau pipis lagi? Pipis atau main air?”
“a-i…..(main air)”, kata Dik Arifa, senyum-senyum tentunya.

Begitulah Dik Arifa. Kadang bisa sepuluh menit sekali lepas celana, bilang mau pipis, tapi kalau dikonfirmasi lagi ternyata “a-i….” alias mau main air. Hemmmmm. Bagus sih jujur, tapi bikin gemes.  Isitilahnya Abi, itu “jujur yang  nyebelin”. Hehehe


(24)
Bukan Umminya, Neneknya

Teman Mas Abrar, sebut saja Raihan, adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Lahir saat Umminya berusia 43 tahun, kehamilan yang tak terduga katanya. Kakak pertama Raihan adalah teman satu pengajian Ummi. Mas Abrar bersikeras bahwa itu bukan Ummi Raihan, tapi neneknya.
Ummi      : Mas, itu Ummi Raihan…. Bukan neneknya…
Abrar      : Neneknya Mi…..
Ummi      : Umminya. Kakak Raihan teman Ummi, jadi pantas saja kalau Ummi Raihan sudah pantas menjadi nenek. Tapi itu bukan neneknya, Umminya.
Abrar      : Bukan Umminya…., itu neneknya.
Ummi      : Hush! Pokoknya kalau di dekat Raihan, Mas Abrar jangan bilang kalau itu neneknya. Kasihan Raihan.

Yach, begitu deh. Mas Abrar belum paham, bahwa tidak semua teman-temannya punya Ibu yang masih seumuran dengan Ummi.  Mas Abrar masih ngotot saja, kalau Raihan dijemput neneknya, bukan Umminya.  Kenapa ngotot begitu sih Nak? L



(25)
Sakit Hati dan Tersinggung

Dik Arifa suka membantu kakaknya. Sebaliknya, Mas Abrar tidak suka dibantu. Mas Abrar merasa bisa melakukan pekerjaan sendiri.

Suatu hari, pulang sekolah, Ummi masih mengikuti pertemuan orangtua murid. Begitu Mas Abrar pulang, Dik Arifa langsung menuju pintu kelas Mas Abrar. Melihat tas Mas Abrar yang menggeletak, Dik Arifa bermaksud membawakan. Mas Abrar langsung berusaha merebut tas. Terjadilah tarik menarik tas yang berujung pada pecahnya tangis Dik Arifa dan Mas Abrar.

Kata Bu Guru, mereka rebutan tas. Oh, tapi Ummi tahu duduk permasalahannya. Dik Arifa sakit hati karena tidak boleh membawakan tas, sementara Mas Abrar tersinggung tasnya dibawakan Dik Arifa.

Begitupun kalau soal menaruh baju di keranjang baju kotor dan membuang sampah di tempat sampah. Dik Arifa biasanya sigap melakukan tugas. Mas Abrar kadang tidak bersegera, sehingga Dik Arifa mencoba membantu. Tetapi, Mas Abrar tidak rela. Re. Ck….ck…ck…..namanya juga anak-anak ya.


(26)
Bobo dan Nggak Bobo

Ada masanya Mas Abrar suka berteriak-teriak saat disuruh bobo siang. “Nggak mau boboooo…….., maiiiiiin…..”, begitu. Nah, sebaliknya, Dik Arifa kalau sedang sakit hati karena diisengin Mas Abrar, maka teriaknya “Bobo…..boboooo”.

Siang itu Mas Abrar sudah melihat tanda-tanda kantuk berat. Salah satu tandanya, suka membuat ulah, merebut mainan Dik Arifa. Langsung deh pecah tangis Dik Arifa, sambil berteriak “bobooooo…… bobo……”. Ummi segera mengamankan Dik Arifa ke kamar dan menyusuinya, tentu saja setelah menegur Mas Abrar.
“Kalau Mas Abrar merebut mainan, silakan Mas Abrar main sendiri, Ummi dan Dik Arifa mau bobo!”, kata Ummi. Mas Abrar langsung menyusul ke kamar dan duduk di lantai sambil menangis juga “ Ummi jangan booboo….., ayo main…. Nggak booboo…..”.

Ummi mengatur siasat.
“Mas, kalau mau main sama Ummi, diam dulu. Nggak boleh teriak-teriak”, kata Ummi
“Nggak mau bobo…..”, Mas Abrar setengah teriak.

“Mas, sini ke deket Ummi. Selesai Ummi mimi-in Dik Arifa, kita main”, Ummi mengatur siasat.
Benar saja Mas Abrar naik ke tempat tidur. Kali ini tidak dengan berteriak, tapi merengek “Nggak mau bobo, ayo main, Ummi jangan bobo”. Tapi lama-kelamaan, suaranya melirih, Mas Abrar pun akhirnya bobo.

Bagaimana dengan Dik Arifa yang tadi minta bobo? Apakah benar-benar bobo? NO! Setelah puas minum ASI dengan mata layaknya anak sedang bobo, ternyata Dik Arifa melepas puting susu dan mata benar-benar melek. “Mi, ayooo, ayooo….”. Maksudnya, Ummi jangan bobo, ayo main.

Hmmmhhh, kok nggak konsisten siiih…… J



(27)
Om Go Kasihan

Menjelang tidur siang, tiba-tiba Mas Abrar membuka diskusi serius tentang Om Go.

Abrar      : Ummi, Om Go kasihan…. (dengan tampang serius)
Ummi      : Kasihan? Memangnya kenapa?
Abrar      : Sendiyian di umah, ngga da Om Na, Ati, Akung, Dedeh….
Ummi      : Iya ya kasihan (Ummi pura-pura serius juga)
Abrar      : Iya!! Ditemenin Abaw hayusnya! (dengan nada semangat)

Gubraaak…. Kayaknya lebih kasihan dech kalo ditemenin Mas Abrar, karena harus momong kamu, Naaak…. Hehehehe.

Tapi, Ummi pura-pura sepakat dengan Mas Abrar.



............................(insyaAllah bersambung)...............................................