Ketika Mulut Berubah Menjadi Harimau

"Is, punya Whats App nggak?"

Pertanyaan ini sering sekali saya dengar, baik dari teman SMP, SMA, kuliah, atau teman komunitas lain. Sangat wajar pertanyaan ini, karena aplikasi pesan untuk smartphone ini sudah umum dimiliki kelas manapun. Saya termasuk orang yang tidak telaten menggunakan smartphone. Jadi saya memiliki handphone jadul yang hanya untuk SMS, menelpon, melihat jam, alarm, reminder, dan kalau iseng bermain game Snake Xenzia atau Beach Rally. Kesan jadul dan ndeso sangat melekat pada handphone saya. Bahkan dulu, di Indonesia, handphone mantan asisten rumah tangga saya lebih canggih, smartphone! Touchscreen pula. Walaupun, kadang si Mba mengeluh susahnya memakai handphone itu. 

Saya memang membatasi diri dengan piranti-piranti berkomunikasi secara grup luas atau massal. Twitter, saya tidak punya. Path, tidak punya juga. Saya hanya punya email yang hanya tergabung dengan dua maillist, facebook yang jarang saya update, dan blog. Saya memang boleh dibilang kurang gaul di lingkungan maya, agak terasing dengan dunia yang bergemuruh lewat sosial media.

Saya tidak eksis? Mungkin itu benar.
Saya tidak banyak dikenal? benar sekali.

Tapi, ada satu hal yang saya syukuri dengan semua itu.
Apa?

Saya tidak banyak terterpa informasi. Tidak semua informasi yang masuk ke facebook, twitter, whats App kita itu bermanfaat bagi kita. Bahkan kadang malah merugikan, contohlah berita-berita hoax dan berita mengadu domba. Kalau mau terterpa banyak informasi, harus menyiapkan saringan. Seberapa kuat saringan dalam pikiran kita? Seberapa kuat saringan dalam hati kita?

Jika saringan kita tipis, atau malah bocor, bisa berbahaya