Nasib Diary Seorang Ibu

Dulu saya hobby menulis diary. Namun sejak punya anak, rasanya tidak ada waktu menulis. Ketika anak mulai bisa berjalan dan memegang pensil, diary saya menjadi galeri coret-coret. Jadi saya mulai menulis diary di blog. Ada satu diary tahun 2008 yang saya bawa ke Pakistan. Lucu kalau membacanya lagi. Cerita sebelum menikah, masa pernikahan, masa hamil pertama, kemudian vakum lama, dan beberapa lembar tentang hari-hari pertama di Pakistan. Setelah itu, semua isinya coretan Abrar dan Arifa.

Tapi saya ingin mengabadikan kalimat-kalimat yang berkesan menurut saya. Misalnya:

"Kamu butuh seseorang...."

Ini kesimpulan sahabat kost saya di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, usai saya menceritakan sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diri saya. Tertulis 8 Juli 2008. Sebelum menikah. 

Kemudian ada lagi gambar bulan sabit, gambar favorit saya, kemudian di bawahnya ada tulisan:

"Harusnya bisa seperti bulan sabit,
yang begitu indah walau tak sempurna terang,
menerangi gelapnya langit"

Ada gambar matahari, kemudian di bawahnya ada tulisan:

"Dan menjadi matahari,
yang menjadikan terang bumi yang gelap"

Kadang saya merasa, dahulu melankolis puitis sekali ya. Ada puisi juga seperti ini:

Kita dilahirkan bukan untuk menjadi lilin,
yang memberi terang,
kemudian luluh tubuhnya,
gelaplah kembali sekitar.

Kita dilahirkan untuk menjadi matahari,
yang memberi terang,
tanpa memunculkan kekhawatiran,
jika gelap muncul,
matahari akan memberi terang,
walau dalam wujud sinar tersembunyi,
di balik pesona rembulan.

Puisi itu di tulis tanggal 14 Agustus 2008. Belum menikah juga.

Sering senyum-senyum sendiri. Usai menikah, selama 6 bulan jarak jauh, saya di Jakarta, suami di Bandung. Hanya akhir pekan bertemu. Pada masa itu, ada kutipan yang ingin saya abadikan:

Insyaallah kita akan masuk surga, 
lima hari bersabar, 
dua hari bersyukur. 
Orang yang bersabar dan bersyukur 'kan akan masuk surga.

Diary saya itu berakhir pada April 2013, sudah di Pakistan. Lembaran terakhir yang masih saya catat, sebelum akhirnya untuk coret-coret Abrar dan Arifa, adalah tentang Lahore, kota seribu taman. 

Lahore,
yang panas,
yang gelap,
yang berdebu.

Tapi aku ingin tetap di sini,
ada matahari yang menghangatkan,
ada matahari yang menguatkan.

Selanjutnya, di lembar-lembar berikutnya, di antara coretan Abrar dan Arifa, ada gambar saya dengan pensil. Tiga gambar orang, di bawahnya ada tulisan:

Mas Abrar nangis minta bobo lagi,
Dik Arifa nangis juga nggak mau bobo,
Ummi.....pusiiiiiing :)

Hehehehe, Begitulah, sebuah cerita besar yang ada di diary saya. Nasib diary seorang ibu.