Hujan

Kalau difilmkan, maka kamera akan mengarah ke teriknya matahari. Kemudian pelan-pelan terik meredup, berganti awan hitam berarak. Angin kencang bertiup. Kain-kain jemuran beterbangan. Kurtain-kurtain menggelepar di udara. Pintu-pintu besi di atap-atap rumah bertabrakan dengan bingkainya, “brak…brak…brak”. Berisik sekali.

Kemudian kamera menyorot pada sebuah balkon rumah. Empat manusia - yang berhidung paling berbeda di pemukiman itu - keluar dengan senyum lebar. Menggelar karpet, mengeluarkan mainan-mainan.

“Hujan…hujaaaan….!!! Di bawah hujan kita menari….”, salah satu menyanyikan original soundtrack salah satu film anak Indonesia.

Kemudian kamera beralih pada lantai balkon. Lingkaran kecil, titik-titik gerimis mulai tampak.

“Yeeee…..!!!!”, teriak mereka. “Alhamdulillah…”

Mirip di film-film india, mereka menengadahkan tangan ke atas. Membiarkan tubuh-tubuh terterpa air hujan yang mulai deras. Mereka membuat lingkaran, berputar-putar, tertawa, tertawa, dan tertawa.

Hujan, sudah lama mereka nantikan. Hujan pun mengalahkan garangnya terik matahari 45 derajat celcius di atas langit Lahore, di bulan Ramadhan ini. Hujan datang sebagai isyarat saatnya keluar rumah, bercengkerama sembari menghirup udara sejuk.

Tak lama kemudian, air hujan mengecil…mengecil…mengecil….dan berhenti.
“Hah, sudah? Kok berhenti hujannya?”, sementara pakaian belum sempurna basah.

Begitulah, alam Lahore. Curah hujan memang sedikit. 
Namun, di sinilah, saya mulai menyadari begitu luar biasa nikmat air hujan.