Panas
Kadang sadar atau tidak, saya suka mengutuki alam.
“Bhuuuuhhh, panas banget!!! Ini
kota apa kompor???”
"Planet Lahore sudah lebih dekat ke matahari dibanding planet bumi ya?"
"Planet Lahore sudah lebih dekat ke matahari dibanding planet bumi ya?"
Saat musim panas, kami
menghindari pergi di siang hari. Untuk berbelanja misalnya, kami memilih
sekitar pukul tiga sore. Sore namanya, tapi masih agak panas. Tapi saya lebih
memilih kepanasan “sedikit” daripada mengantri lama di kasir. Saat musim panas,
banyak orang memilih berbelanja malam. Akibatnya, belanja senggol-senggolan, di
kasir pun antri lama.
Sebelum sampai di Departement
Store, saya bertemu penjual Leci. Waow, mumpung di Pakistan, Leci Rs. 180/kg
(Rp.20.000an). Saya beli. Tinggal beberapa ikat. Sebelum saya, seorang bapak
membeli berkilo-kilo. Saya pergi, seorang Bapak datang menghabiskan sisa leci
di gerobak. Saya melihat penjual leci sangat bersemangat, tersenyum lebar. Jam
tiga sudah habis dagangan.
Maka, panas, ganasnya sinar
matahari, adalah berkah untuk pedagang buah-buahan.
Saya membayangkan, si penjual
leci tadi bersegera pulang, mampir dulu di pasar. Dia membeli sirup jam sirri,
membeli tepung baisan, membeli kentang, dan membeli es balok. Setiba di rumah,
dengan sumringah menyerahkan
belanjaan kepada istrinya, yang tak kalah sumringahnya.
Usai mengguyur badan, mereka beserta anak-anaknya naik ke atap, menyantap
hangatnya gorengan pakora dan meneguk dinginnya sirup jam sirri.
Sungguh, itu indah dan nikmat
sekali.
Rasanya, saya malu mengutuk alam lagi.