Mereka dan Saya

Lahore, sebuah kota yang mungkin tidak "elite" di mata orang Indonesia. Tapi bagi saya, keunikan Lahore membuat ia begitu "elite" di mata saya. Saya ingat, di suatu senja di Wagha Border, perbatasan Pakistan dan India, saya pernah berdoa : Izinkan saya bisa mencintaimu, Pakistan.

Saya hidup dengan dikelilingi orang-orang yang memperhatikan saya. Bukan memperhatikan, tetapi menghafal. Dari ujung jalan Bari Peer hingga toko daging sapi, hampir semua menghafal rutinitas saya. Para pemilik toko langganan saya, bahkan hafal apa saja yang biasa saya beli dan berapa jumlahnya. Dengan siapa saya pergi pada jam-jam tertentu, mereka tahu.

Mereka adalah orang-orang yang unik.
Uncle Liaqat Ali, penjual sayur 
Uncle Muhammad Ali, penjual buah
Uncle Javaid, pemilik toko
Mariam Baba, pemilik toko
Yasmin Api, pemilik toko
Uncle penjual murghi, ayam
Uncle Liaqat Ali, penjual daging sapi
Uncle penjual dahi, yoghurt
Dokter Rasyid, pemilik klinik sederhana
Abdurrazaq, tukang cukur
Dan masih banyak lagi.

Maka, mungkin jika harus mengenang Lahore, maka saya akan mengingat-ingat orang-orang itu.
Maka, jika saya harus mengenang Lahore, insyaAllah saya akan mengenangnya dengan bahagia.