Eksis Di Dunia Maya, Bermasalahkah?

Miki Shirono akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Dia merasa sudah tidak ada gunanya hidup. Hampir semua orang pun mengharapkan dia mati. Di media sosial twitter, bahkan di televisi, sudah tersebar bahwa dia melakukan pembunuhan terencana secara keji terhadap Noriko, teman sekantornya di perusahaan sabun Snow White.

Twitter pun ramai menggambarkan siapa Miki Shirono dan bagaimana karakternya. Jahat sekali, seorang psikopat. Sedangkan korban, Noriko, di dunia maya digambarkan bagai dalam dongeng, putri cantik dan baik hati yang memiliki akhir hidup tragis dan menyedihkan.

Dari tempat persembunyiannya, Miki Shirono mengikuti pemberitaan demi pemberitaan tentang dirinya. Dia menyimak apa yang ramai di Twitter tentang dirinya. Hingga dia mengumpulkan tenaga dan pikiran untuk menulis siapa dirinya, siapa Noriko, dan apa yang terjadi sebenarnya di kantor. Selesai menulis, dia mencoba menggantung diri. Beruntung, televise yang di kamarnya masih menyala dan menyiarkan Breaking News. Melalui penyelidikan kepolisian, sang pelaku pembunuhan sebenarnya akhirnya mengaku. Dialah Risako Kano, teman sekantor korban, yang selalu dilecehkan oleh korban karena penampilannya yang kurang cantik.

Di dunia nyata, memang yang terbunuh adalah Noriko, yang sebenarnya punya karakter antagonis. Tapi di dunia maya twitter, yang jelas-jelas “terbunuh” karakternya adalah Miki Shirono.  Maka, dalam kisah ini, sebenar-benar antagonis selain Risako adalah Yuji Akahoshi. Yuji adalah wartawan tidak berkualitas yang selalu mengoceh di twitternya. Yuji tidak bisa membedakan mana fakta, opini, persangkaan, tuduhan. Semua hal yang dia temukan, meski belum terbukti benar, langsung dia sebar melalui twitter. Yuji berhasil menghancurkan hidup Miki Shirono di dunia maya, meski sebenarnya dia sama sekali tidak mengenal Miki Shirono di dunia nyata.

Menyeramkan, media sosial sungguh menyeramkan. Untung, kejadian ini hanya ada di film Jepang “The Snow White Murder Case”, karya surtadara Yoshihiro Nakamura tahun 2014.

Hidup di Dua Dunia, Bermasalahkah?

Saat ini, banyak orang hidup di dua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia maya. Semua pencitraan diri, bisa dilakukan di dunia maya, melalui akun media sosial atau sering disebut sosmed. Banyak sekali akun sosmed yang bisa dibuat, facebook, twitter, path, dan masih banyak lagi. Semakin jauhnya jarak seseorang, tidak menjadi masalah, karena dengan gadget di tangan, seakan-akan kita sedang bersama mereka. Dunia menjadi seperti tanpa batas. Kita di Indonesia sedang memasak, teman kita di Perancis bisa tahu. Kita di kota kecil di Jawa sedang pilek, teman kita di Arab bisa tahu.

Lalu, apakah eksis di dunia maya bisa menjadi masalah? Saya ingin mengutarakan pendapat saya, apa saja yang menurut saya menjadi masalah ketika eksis di dunia maya.

Pertama, ketika kita mengkontruksi diri kita di dunia maya berkebalikan dengan kenyataan di dunia nyata.

Melalui status-status kita, postingan-postingan kita, secara sadar atau tidak sadar kita sedang mengkontruksi diri kita di depan publik dunia maya. Apa yang orang lain tahu tentang diri kita adalah seperti apa yang kita bentuk di dunia maya. Misal si A sering update status foto mesra dengan suami, kata-kata sayang, makanan-makanan yang dibuatnya untuk suami. Karena kita hanya mengenal A di media sosial, maka yang kita tahu “A adalah wanita yang sayang suami”. Atau misal si B sering update status politik, mengkomentari setiap kejadian terkait pemerintah, maka yang kita tahu ”B adalah orang yang kepedulian politiknya sangat tinggi”. Melalui media sosial kita mengenal C adalah wanita tangguh, D adalah pria yang bijak, E adalah wanita yang super kaya tapi sederhana, dan seterusnya.

Masalah bisa muncul ketika orang yang selama ini kita kenal di dunia maya “hadir” di sekitar dunia nyata kita, dan ternyata orangnya sangat berkebalikan dengan yang dia bentuk di dunia maya.

“Ah, masa sih?”
“Iya betul…”
“Suaminya romantis sekali ‘kan orangnya….”
“Aahh…itu ‘kan di facebook. Kenyataannya sekarang dia minta bantuan kita, dia sudah dicerai oleh suaminya….”

Dialog itu menyeramkan sekali menurut saya. Siapa yang bisa kita percaya? Dia yang hanya kita kenal di dunia maya atau orang-orang yang mengenal dia di dunia nyata? Itu adalah hal yang sangat membingungkan. Maka, berhati-hatilah mengkontruksi diri kita di dunia maya, dan berhati-hatilah mempercayai kontruksi diri seseorang.


Kedua, menjadi masalah ketika citra tentang diri kita dibentuk oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga tercipta persepsi publik tentang siapa kita

Film Jepang “The Snow White Murder Case” hanyalah contoh. Di Indonesia pernah kejadian menimpa seorang gadis bernama Dinda yang mencurahkan kekesalan hatinya pada seorang ibu hamil di akun media sosialnya. Dinda pun ramai dibully, dicaci, dimaki, disumpah serapahi, bahkan hingga menjadi berita di media mainstream. Apakah orang-orang yang mencaci itu mengenal Dinda? Mayoritas tidak. Tapi sosok Dinda sudah terbunuh, terbunuh karakternya di dunia maya.

Banyak orang di media sosial ingin terlihat ikut benar. Mereka tidak tahu apa-apa tentang seseorang kecuali sedikit informasi saja, lantas mereka ikut mencaci, menambahi komentar jelek, dan menghakimi. Maka, seseorang dengan kadar kesalahan sedikit saja, bisa menjadi seperti iblis yang sudah seratus persen wajib dicela.

Pun dengan seseorang yang kadar kebaikan sedikit saja, sudah disanjung sedemikian rupa seperti dialah dewa. Banyak orang di media sosial hanya ingin mengikuti tren. Tren sedang memuji seseorang, maka rasanya ketinggalan zaman jika tidak ikut memuji.

Ketiga, masalah akan muncul ketika kita tidak bisa menjaga “mulut”

Saat kita menulis status, misal di facebook, sadarkah kita bahwa kita sedang berhadapan dengan orang banyak. Saya seringkali menemukan status-status marah dengan tetangga atau teman, tapi ditaruh di facebook. Hal itu seperti sedang “teriak” marah kepada semua orang.

Orang-orang juga mempunyai perbedaan perasaan, ada yang sensitif, ada yang tidak mau ambil peduli, ada yang mudah diadu domba, ada yang mudah percaya, ada yang apa saja dilahap dan dibagi.

Maka, berhati-hatilah menulis atau membagi status. Seperti dalam dunia nyata, kita harus menjaga mulut saat berbicara. Maka di dunia maya pun kita harus bisa menjaga tangan kita dalam menulis status. Status kontroversial perlu dipikir berkali-kali apabila mau diunggah.

Di grup media sosial yang lebih kecil, what’sApp, misalnya, pun harus tahu betul siapa saja anggota grup kita agar kita bisa menjaga “mulut” kita.

Keempat, masalah muncul saat orang lain tidak bisa menjaga “mulut” di rumah kita

Saya pernah membaca di situs berbahasa inggris, seseorang mengeluh bisakah menonaktifkan “komentar” di facebook. Dia ingin memposting status, tapi tidak ingin dikomentari. Gara-garanya adalah dia memposting hal yang biasa, yang bukan kontroversial, tapi Pamannya bertengkar dengan teman sekampusnya, di “halaman” facebook dia. Memang sangat tidak enak bila kita tidak mengajak bertengkar di media sosial, tapi orang-orang saling berperang komentar.

Media sosial seperti facebook ada pilihan “like” dan “komentar”. Banyak kejadian, orang-orang tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. Apalagi jika kasusnya sedang “tren”. Meski komentarnya tidak sesuai dengan kompetensi keilmuan, yang penting merasa “puas” kalau sudah melempar komentar. Apa akibatnya? Pertengkaran pun terjadi..

Maka sebaiknya, tahanlah diri jika tidak bisa berkomentar yang bijak. Tahanlah diri jika komentarnya hanya kontraproduktif. Tahanlah diri jika tidak bisa memilah kata. Jangan membuat malu teman kita karena kita yang menyalakan “api” pertengkaran komentar di status facebook teman kita.

Kelima, ketika ruang publik dan ruang pribadi menjadi kabur

Perlukah publik tahu apa menu makan siang kita? Perlukan publik tahu kita baru saja terpeleset? Perlukah publik tahu kita sedang bermesraan dengan pasangan? Perlukah publik tahu berapa ukuran pakaian kita? Perlukan publik tahu kita baru saja belanja tas bermerk? Perlukan publik tahu kita sedang “ngupil”? Perlukah publik tahu kita sedang ingusan? Perlukan publik tahu kita sedang patah hati? Perlukan puiblik tahu kita sedang bertengkar dengan tetangga?

Kita bukan artis infotainment, yang setiap detail aktivitas kita, setiap detail perasaan kita, setiap detail keluhan kita, perlu untuk diketahui publik. Belajarlah menghormati ruang publik.

“Lho, ini ‘kan akun saya, terserah saya dong mau update status apa?”

Benar, memang kita yang memiliki akun media sosial itu, kita yang memiliki halaman facebook kita. Tapi, setiap media sosial tersambung dengan orang lain. Tidak semua orang memiliki hati yang lapang ketika melihat sesuatu yang sifatnya pribadi. Orang-orang di sekitar kita yang tersambung oleh media sosial juga termasuk publik yang harus dihormati.

Keenam, ketika kita melupakan sopan-santun dalam menuliskan komentar

Di dunia nyata, kita mengenal sopan santun dalam berbicara dan menyapa. Pernahkah kita, baru bertemu teman kita di sebuah tempat belanja, lantas kita langsung bicara “Oh…jadi kamu sekarang ibu rumah tangga saja? Saya pun bisa mengurus anak dan suami, juga berkiprah di masyarakat walaupun saya bekerja”. Apakah kita seperti itu di dunia nyata? Menurut saya, tentu tidak. Sebagai orang yang menjaga sopan santun, kita akan basa-basi terlebih dahulu, “Apa kabar? Sehat? Bagaimana keluarga?”

Tapi di dunia maya, banyak orang sudah melupakan sopan-santun, berkomentar seperti mengkomentari seonggok batu. Bahasa tulis dan lisan berbeda. Dalam bahasa lisan, kita biasanya akan mempertegas makna kalimat kita dengan bahasa tubuh. Dalam bahasa tulis, tanda tanya, tanda perintah, koma, titik, icon-icon, bisa dibaca dengan intonasi berbeda setiap orang. Misal, “Jaga ya kesehatan anak-anak!!!!”. Kalau orang sedang kesal, akan membaca komentar tersebut dengan marah. Padahal mungkin yang berkomentar tidak punya maksud membuat marah, hanya salah tanda baca.

Kompetensi memilah kata untuk ditulis, memilah tanda baca, memilah huruf kecil dan huruf kapital, itu adalah kompetensi yang tidak semua orang benar-benar menguasai. Maka, sebaiknya sebelum memposting komentar atau status, sebaiknya kita baca ulang, apakah berpotensi menimbulkan persepsi yang berbeda atau tidak.

Ketujuh, ketika asyik dengan dunia maya dan melupakan dengan dunia nyata

Saya pernah bertamu. Sambil mengobrol, tuan rumah memegang smartphone. Rupanya sebelum saya datang, dia memang sedang asyik dengan teman-temannya di dunia maya. Di tengah-tengah mengobrol, dia menimpali obrolan dengan mata tetap asyik tertuju ke handphone. Oh, saya sakit hati.

Saat menjemput anak-anak sekolah misalnya, ini waktu yang tepat untuk membuka kembali dunia nyata kita. Simpanlah smartphone, bertegur sapalah dengan sesama orangtua murid. Saat di meja makan bersama keluarga kita, simpanlah smartphone, dan mengobrollah dengan anggota keluarga.

Terlalu asyik dan eksis dengan dunia maya, bisa membuat kita lupa dengan dunia nyata. Kita susah membedakan mana yang nyata, mana yang maya. Seberapa banyak waktu yang kita habiskan di dunia maya bisa menunjukkan seberapa ketergantungan kita dengan dunia maya dan seberapa penting dunia maya untuk kita.

Maka, tak ada salahnya untuk kembali menghidupkankan dunia nyata kita. Pulang kembali ke tengah-tengah keluarga kita, mengobrollah dengan anak-anak dan pasangan. Datangilah perkumpulan-perkumpulan yang diadakan di pos RW, komplek rumah, pos ronda, atau tempat ibadah. Mengobrol di dunia nyata itu perlu. Buatlah tren “status” obrolan yang menarik, seru, dan bermanfaat di dunia nyata. Bukan melulu di dunia maya.



Isti Prihandini
Artikel ini ditulis untuk www.kidia.org dan sudah dimuat :)