Smartphone, Socmed, dan Si Kecil

Seorang wanita muda yang tengah hamil tua sedang memainkan smartphonenya. Anak pertamanya, umur 4 tahun, ada di sampingnya.

"Mama, gimana bikin baby?", tanya anaknya

Si Mama tanpa menoleh ke anak, langsung gelagapan. Bukannya mendekat ke anak, malah mengetik di group What’s App "Wah..... anak gue nanyain gimana bikin baby..... Gimana dong Mommy-Mommy..."

Tak sampai dua menit, Whats App-nya ramai.

"Mama, gimana bikin baby.......???", tanya anaknya lagi dengan agak teriak
"Bentar... sayang, Mama baca dulu....."

Usai membaca beberapa saran teman-temannya, si Mama mendekati anaknya.

"Ini Mama, ini Papa, ini Rara, tinggal adik baby. Gimana cara bikinnya? Kecil banget 'kan kata Mama, susah....", Anaknya menjelaskan kepada Mamanya sambil menunjuk hasil karya boneka-boneka kecil dari lilin warna-warni.


Pesona Luar Biasa Smartphone dan Socmed

Pemandangan apa yang biasa kita lihat di mall, restoran, ruang tunggu kereta, halte bus, ruang tunggu menjemput anak-anak sekolah, atau bahkan rumah kita sendiri? Orang sedang memainkan smartphone. Ya, itu, smartphone dan sosial media. Sepertinya sudah menjadi gerak otomatis dalam tubuh kita, bila waktu “senggang”, tangan langsung meraih smartphone. Asyik sekali kita di dalam kamar, tapi bisa “mengobrol” dengan banyak teman di berbagai kota, bahkan lintas negara, lintas benua. Tidak perlu terbang ke Perancis, untuk tahu menu sarapan teman kita. Tidak perlu menyeberangi samudra, untuk tahu apa warna baju teman kita di Tokyo.

Banyak orang yang “membunuh” kesepian dengan mencoba eksis di socmed (media sosial) yang bisa di akses melalui smartphone. Dengan kemudahan cara membuat akun socmed, banyak orang yang mempunyai lebih dari satu akun. Satu orang bisa mempunyai facebook, twitter, path, dan sebagainya. Belum lagi ditambah dengan What’s App, yang tinggal menunduh aplikasinya saja di smartphone. Satu orang, bisa memiliki lebih dari lima grup Whats App, dengan jumlah anggota grup yang tidak sedikit. Bayangkan, cukup dengan smartphone yang tersambung dengan Wi-Fi atau bucket internet, satu orang bisa berkomunikasi dengan ratusan teman lintas negara, lintas benua. Benar-benar ruang yang “tanpa batas.”

Asyik di Mata Orang Dewasa, Asyik di Mata Si Kecil

Anak-anak adalah peniru ulung. Di rumah, secara otomatis, anak akan meniru orang dewasa yang banyak bersama dengannya. Apa yang sering “dimainkan” orang dewasa akan tampak menarik bagi anak-anak. Misal, kalau anak ditinggal bersama baby sitter yang suka menonton TV, anak-anak pun akan menganggap TV adalah benda yang asyik. Kalau anak ditinggal bersama nenek yang suka memasak, anak-anak pun akan menganggap peralatan masak di dapur sebagai benda-benda yang mengasyikkan. Kita sering menjumpai anak-anak yang suka bermain dapur-dapuran, suka membawa pengki dan sapu, suka bermain bengkel-bengkelan, dan lain sebagainya. Mengapa? Hampir pasti karena pemandangan itu yang sering dilihat dan dilakukan oleh orang dewasa di sampingnya dan orang dewasa itu tampak asyik melalukan aktivitas itu.

Begitupun dengan smartphone. Jika anak-anak terbiasa melihat orangtua atau pengasuhnya tampak asyik bermain smartphone, maka jangan salahkan anak-anak jika dia meminjam smartphone kita untuk sekedar dipencet-pencet, bermain game, atau melihat video ini-itu. Teknologi layar sentuh, dengan kekuatan audio, visual, dan warna yang super canggih, membuat smartphone juga luar biasa menarik di mata anak-anak. Apalagi ada fasilitas kamera, perekam suara, lagu-lagu, dan lain-lain. Luar biasa daya pesonanya.

Berkumpul Tapi Berpisah

Orang tua dan anak-anak ada di satu rumah. Si Mama asyik ngerumpi di grup Whats App, tertawa ngakak-ngikik. Si Papa sibuk meng-update status di Facebook, dengan topik yang sedang tren, sehingga ada puluhan komentar yang asyik untuk direspon. Anak yang besar, sibuk mengoceh di twitter. Anak yang paling kecil sedang gemas karena jagoan di  gamenya hampir kalah. Ya, mereka berkumpul di satu rumah, tapi semua sibuk dengan dunia masing-masing.

Seberapa banyak waktu yang tersisa untuk berkumpul dengan keluarga? Apakah itu tidak percuma jika masuk rumah, tetapi malah asyik dengan teman-teman di luar rumah yang “berkumpul” di smartphone kita. Kita berkumpul dengan keluarga kita, tapi hanya secara fisik. Otak kita, hati kita, bukan sedang di rumah, tapi sedang bersama teman-teman di berbagai tempat. Pemandangan ini bisa sering kita saksikan. Di restoran-restoran misalnya. Satu keluarga duduk satu meja, tapi masing-masing sibuk dengan smartphone. Di mobil, saat perjalanan, hanya yang menyetir yang tidak memegang smartphone, sedang yang lain sibuk dengan smartphone.

Bersama-sama Bermain Smartphone dengan Si Kecil

Mungkin kita termasuk orangtua yang mengenalkan smartphone kepada si kecil. Entah bermain game, atau membuka video lucu untuk menenangkan si kecil yang rewel. Video-video di smartphone biasanya didapat dari sharing  teman-teman kita di media sosial. Tanpa kita mengajari cara membuka video, di mana letak video, seorang anak umur 4 tahun bisa mencarinya sendiri di smartphone.

Saya punya pengalaman buruk terkait hal ini. Saya bersama anak-anak menonton sebuah video. Ada video dengan gambar utama bunglon warna-warni. Anak saya girang sekali. Ayo lihat bunglon! Saya klik, bunglon yang sangat indah. Perlahan-lahan tampak bunglon itu bergerak, bergerak, dan bergerak. Saya terkejut bukan kepalang, segera saya matikan video. Anak-anak saya marah dan bertanya mengapa dimatikan videonya. Saya mencoba menjelaskan semudah dipahami anak-anak tanpa perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat anak-anak pergi, saya mencari sumber apakah video itu sebenarnya. Ternyata bunglon itu adalah lukisan tubuh karya seniman Brazil, dimana dua perempuan yang (sepertinya) telanjang dilukis sedemikian rupa, kemudian mereka berpose bertindihan sehingga kedua tubuh itu benar-benar membentuk lukisan bunglon.

Jika smartphone kita termasuk yang bisa mendownload otomatis apapun kiriman video atau foto yang masuk, kita harus waspada. Kita tidak tahu pasti karakter orang-orang yang tersambung dengan kita melalui socmed. Apakah kita yakin semua video atau gambar itu aman tidak ada konten pornografi dan kekerasan? Maka kita perlu mensensor smartphone kita, sebelum meminjamkan kepada anak-anak kita atau menggeletakkannya di tempat yang bisa dijangkau anak-anak.

Ayo Melek, Jangan Kambing Hitamkan Smartphone

Apa yang salah dari smartphone? Tidak, tidak ada. Tidak ada yang salah dengan smartphone.  Smartphone adalah buah kecanggihan teknologi. Kitalah yang kurang bijak menggunakan kecanggihan teknologi tersebut. Kita yang kurang “melek” terhadap media-media sosial yang tersaji dalam smartphone. Melek media sosial merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap orang agar bisa mengelola akun media sosialnya dengan bijak.

Apa itu melek media sosial? Melek media atau media literacy sebagai kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan (National Leadership Conference on Media Literacy, Rubin 1998). Awalnya melek media saat itu hanya terbatas pada media massa seperti televisi, radio, film, koran, buku, dan majalah. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi media, melek media menjadi berkembang dan semakin luas. Ada melek media sosial, yang mengkhususkan pada kemampuan kita menerima dan mengelola pesan dari media sosial.

Langkah sederhana agar kita bisa melek media bisa dimulai dengan mempertanyakan diri sendiri, sebelum mengakses media sosial, dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti: Saya membuka media sosial untuk mencari informasi apa? Saya  akan berbagi informasi tentang apa? Apakah informasi yang saya baca itu berdasarkan sumber terpercaya? Apakah saya akan membagi informasi yang benar? Apa dampak informasi itu untuk saya? Apa dampak informasi ini untuk orang lain? Berapa lamakah saya butuh mengakses media sosial dalam sehari? Apakah media sosial benar-benar memenuhi kebutuhan saya dalam bersosialisasi? Dan lain-lain.

Pada intinya adalah kita harus bisa menggunakan media sosial secara “sadar”, bukan hanya sekedar iseng atau sekedar mengumpulkan like, comment, ataupun banyak-banyakkan follower agar populer. Hati-hati dengan penyakit “yang penting eksis” di media sosial, yang dilakukan dengan cara mengunggah apapun informasi tanpa memilah terlebih dahulu.

Si Kecil Butuh Kita

Saya termasuk orang yang tidak suka bila orang yang sedang saya ajak bicara menanggapi obrolan dengan mata tetap tertuju pada smartphone. Ternyata, ini menurun pada anak-anak saya. Misal ketika menemani anak-anak mengerjakan PR, anak saya akan protes jika saya sibuk sendiri dengan smartphone. Sebagaimana saya mencoba agar anak-anak meminta izin ketika akan bermain smartphone, saya juga mencoba meminta izin ketika akan membuka media sosial di smartphone saat ada anak-anak di sekeliling saya.

Kehidupan sosial memang kita butuhkan, tetapi harus tetap ingat bahwa keluarga kita butuh kehadiran kita secara utuh, raga dan jiwa. Jika kita bisa asyik “ngrumpi” di media sosial dengan teman-teman kita, kita juga harus bisa asyik mengobrol panjang lebar dengan anak-anak kita dan pasangan kita. Jika kita bisa bertahan duduk lama bermain dengan smartphone dan akun media sosial kita, kita juga harus bisa bertahan lama bermain dengan anak-anak kita. Jika kita bisa menemukan tren-tren topik menarik untuk dibicarakan di media sosial, kita juga harus bisa menemukan topik-topik yang tak kalah menarik untuk anak-anak kita. (IP)