21 Undangan Walimah
Menapaki usia kepala dua, saya semakin sering menghadiri syukuran walimah sahabat-sahabat sekampus. Iseng punya iseng, saya mencoba membuka file-file memori otak saya. Waow…! Ternyata dalam waktu kurang lebih 2 tahun, ada sekitar 21 sahabat saya yang sudah mengkonkretkan rencana dalam undangan walimah mereka. Saya ingat, pernah dalam satu bulan, ada 2 undangan walimah. Bahkan pernah, belum sampai 24 jam, saya sudah berpindah dari satu gedung walimah ke gedung walimah yang lain. Jarak antargedung berkilo-kilo meter, satu di Jakarta dan satunya lagi di Jawa Tengah. Iseng punya iseng lagi, saya mencoba mengingat-ingat dengan siapa sahabat-sahabat saya menikah. Waow…! Ternyata lagi, semuanya adalah pasangan ikhwan-akhwat. Kabarnya pun, alhamdulillah, hampir semuanya masih mengikuti halaqoh tarbiyah dan aktif berdakwah.
Salah satu tujuan pernikahan adalah untuk menghasilkan keturunan. Kalau yang menikah adalah para aktivis dakwah, tentunya kalimat itu akan sedikit tambah panjang, yaitu menghasilkan keturunan yang dapat menjadi generasi Robbani dan menjadi da’i seperti orangtuanya. Bukan, saya di sini bukan ingin berbicara soal teori pernikahan, tapi saya ingin mengajak anda berhitung. Seandainya, 21 sahabat saya itu rata-rata hanya mempunyai 5 anak, berarti akan ada 105 keturunan yang lahir dari pasangan ikhwan-akhwat ini. Tentunya anda, sebagaimana saya juga, percaya bahwa saudara-saudara kita ini tentu saja akan merawat anak-anak mereka sebaik mungkin dalam naungan Al Qur’an dan Sunah dan menyekolahkan sebaik mungkin minimal menjadi sarjana seperti orangtuanya. Dua puluh tahun kemudian, taruhlah dari 105 anak ini cuma ada 75 anak yang benar-benar tumbuh menjadi ikhwan-akhwat yang cerdas, sehat, serta aktif berdakwah di sekolah dan kampus mereka. Artinya, dua puluh tahun yang akan datang, kita tidak akan khawatir akan terjadi kelangkaan generasi terbina yang akan meneruskan apa yang kita dakwahkan hari ini di sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Artinya lagi, dua puluh tahun yang akan datang kita tak perlu risau mencari intelektual-intelektual dan profesional-profesional muslim yang berkompeten dan “bersih.” Sudah ada stok, yaitu 75 buah hati sahabat-sahabat saya.
Nah, ini kita baru berhitung skala kampus saya, dalam kisaran 2 tahun saja, dan terbatas pada ikhwan-akhwat sekampus yang saya kenal saja. Padahal, di Indonesia ada ratusan kampus. Seandainya apa yang saya alami ini terjadi di 10 kampus saja, berarti 20 tahun kemudian Indonesia sudah mempunyai 750 generasi penerus yang cerdas, profesional, dan tentu saja ngihwah alias sehat tarbiyah dan aktif berdakwah. Bayangkan kalau kisaran tahunnya digenapkan sesuai masa studi sarjana (4 tahun) berarti angka tadi dikali dua, jadi 1500 generasi penerus. Kalau dari 1500 orang ini masing-masing mempunyai keturunan 10 anak dan semuanya terbina secara lurus, mantap, dan canggih secanggih zamannya, berarti 40 tahun kemudian akan sudah tersedia 15.000 generasi penerus terbina; Qualified Stock! Subhanallah! Saudaraku, ini bukan angka yang kecil.
Saya memang sedang berhitung-hitung untuk menghibur diri. Ini lantaran saya miris mendengar seorang anak berteriak, “Pokoknya saya nggak mau seperti Abi dan Ummiiii…..” Si Anak ini, yang lahir dari pasangan aktivis dakwah era 1990-an, rupanya hanya melihat kelelahan amat sangat pada orangtuanya selepas mereka menyudahi agenda dakwahnya. Bisa jadi, pada si Anak ini tersimpan persepsi buruk bahwa menjadi seperti Ummi dan Abi adalah hal yang tidak menyenangkan. Selain itu, masih ada sumber kemirisan lagi. Yakni kenyataan bahwa anak-anak para aktivis era 1980-an (berarti anak-anak yang sekarang seusia dengan saya), ada yang justru bergesekan –kalau tidak mau dibilang berlawanan- dengan dakwah kampus yang dulu pernah digerakkan para orangtuanya. Ada apakah ini? Kesalahan ada di mana? Maaf, kalau boleh saya menuduh, ini ada yang keliru dalam proses pembinaan dalam keluarga aktivis dakwah itu.
Hemmhh, 21 undangan walimah para aktivis dakwah era 2000-an itu, yang saya terima dengan senyum terkembang, semoga juga akan membuat Indonesia tersenyum renyah dua puluh tahun yang akan datang. Amiin Ya Robbi.
*Tulisan ini, bersama karangan bunga imajiner, saya kirimkan untuk
saudara-saudara saya yang sedang menanti kelahiran jundi pertama. Barakallah!
Salah satu tujuan pernikahan adalah untuk menghasilkan keturunan. Kalau yang menikah adalah para aktivis dakwah, tentunya kalimat itu akan sedikit tambah panjang, yaitu menghasilkan keturunan yang dapat menjadi generasi Robbani dan menjadi da’i seperti orangtuanya. Bukan, saya di sini bukan ingin berbicara soal teori pernikahan, tapi saya ingin mengajak anda berhitung. Seandainya, 21 sahabat saya itu rata-rata hanya mempunyai 5 anak, berarti akan ada 105 keturunan yang lahir dari pasangan ikhwan-akhwat ini. Tentunya anda, sebagaimana saya juga, percaya bahwa saudara-saudara kita ini tentu saja akan merawat anak-anak mereka sebaik mungkin dalam naungan Al Qur’an dan Sunah dan menyekolahkan sebaik mungkin minimal menjadi sarjana seperti orangtuanya. Dua puluh tahun kemudian, taruhlah dari 105 anak ini cuma ada 75 anak yang benar-benar tumbuh menjadi ikhwan-akhwat yang cerdas, sehat, serta aktif berdakwah di sekolah dan kampus mereka. Artinya, dua puluh tahun yang akan datang, kita tidak akan khawatir akan terjadi kelangkaan generasi terbina yang akan meneruskan apa yang kita dakwahkan hari ini di sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Artinya lagi, dua puluh tahun yang akan datang kita tak perlu risau mencari intelektual-intelektual dan profesional-profesional muslim yang berkompeten dan “bersih.” Sudah ada stok, yaitu 75 buah hati sahabat-sahabat saya.
Nah, ini kita baru berhitung skala kampus saya, dalam kisaran 2 tahun saja, dan terbatas pada ikhwan-akhwat sekampus yang saya kenal saja. Padahal, di Indonesia ada ratusan kampus. Seandainya apa yang saya alami ini terjadi di 10 kampus saja, berarti 20 tahun kemudian Indonesia sudah mempunyai 750 generasi penerus yang cerdas, profesional, dan tentu saja ngihwah alias sehat tarbiyah dan aktif berdakwah. Bayangkan kalau kisaran tahunnya digenapkan sesuai masa studi sarjana (4 tahun) berarti angka tadi dikali dua, jadi 1500 generasi penerus. Kalau dari 1500 orang ini masing-masing mempunyai keturunan 10 anak dan semuanya terbina secara lurus, mantap, dan canggih secanggih zamannya, berarti 40 tahun kemudian akan sudah tersedia 15.000 generasi penerus terbina; Qualified Stock! Subhanallah! Saudaraku, ini bukan angka yang kecil.
Saya memang sedang berhitung-hitung untuk menghibur diri. Ini lantaran saya miris mendengar seorang anak berteriak, “Pokoknya saya nggak mau seperti Abi dan Ummiiii…..” Si Anak ini, yang lahir dari pasangan aktivis dakwah era 1990-an, rupanya hanya melihat kelelahan amat sangat pada orangtuanya selepas mereka menyudahi agenda dakwahnya. Bisa jadi, pada si Anak ini tersimpan persepsi buruk bahwa menjadi seperti Ummi dan Abi adalah hal yang tidak menyenangkan. Selain itu, masih ada sumber kemirisan lagi. Yakni kenyataan bahwa anak-anak para aktivis era 1980-an (berarti anak-anak yang sekarang seusia dengan saya), ada yang justru bergesekan –kalau tidak mau dibilang berlawanan- dengan dakwah kampus yang dulu pernah digerakkan para orangtuanya. Ada apakah ini? Kesalahan ada di mana? Maaf, kalau boleh saya menuduh, ini ada yang keliru dalam proses pembinaan dalam keluarga aktivis dakwah itu.
Hemmhh, 21 undangan walimah para aktivis dakwah era 2000-an itu, yang saya terima dengan senyum terkembang, semoga juga akan membuat Indonesia tersenyum renyah dua puluh tahun yang akan datang. Amiin Ya Robbi.
*Tulisan ini, bersama karangan bunga imajiner, saya kirimkan untuk
saudara-saudara saya yang sedang menanti kelahiran jundi pertama. Barakallah!
Udah pernah dimuat di majalah Ummi. udah lama benget, pas aku masih kuliah. Ya... sekitar pertengahan taun 2007 lah..