Seri Media & Anak (Part 2)
Diet Kartun Untuk Anak-Anak
Menonton TV bisa diibaratkan dengan mengkonsumsi makanan. Apa yang kita makan akan berefek pada kesehatan tubuh kita. Terutama pada anak-anak, apa yang mereka tonton, dapat berefek pada attitude (sikap) dan behavior (perilaku) mereka. Tewasnya Revino (10 tahun), seorang siswa kelas 4 SD di Semarang pada Januari 2008, diduga akibat meniru gaya Naruto di film kartun untuk remaja Naruto (Global TV). Ini mengingatkan kita pada tayangan Smackdown (Lativi) yang akhirnya dihentikan penayangannya akibat banyak anak yang meniru dan berujung pada kematian.
Dampak tayangan bermuatan kekerasan terhadap anak-anak sudah sering kita wacanakan. Memang, dibandingkan kelompok usia penonton yang lain, penonton anak-anaklah yang banyak menjadi fokus perhatian. Anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat. Seorang pakar televisi dan anak, Milton Chen (1996), pernah berujar bahwa tak ada hal lain dalam kebudayaan ini yang mampu menandingi kemampuan TV dalam 'menyentuh' anak-anak. Lantas, bila kita cermati, belum ada tayangan anak lainnya yang mampu mengalahkan tayangan kartun dalam menarik perhatian anak.
Lagi-Lagi Kartun
Ketika TV menggeser peran orangtua dalam mendampingi anak-anak beraktivitas, sebenarnya karena - sadar tidak sadar - didukung orangtua itu sendiri. Sebagian besar orangtua di Indonesia masih dengan rela menyerahkan peran 'pengasuhan' anak kepada TV, khususnya tayangan kartun.
Memang cukup beralasan ketika sebagian besar orangtua memilih film kartun sebagai tontonan anak-anak mereka. Pertama, banyak orangtua merasa aman dengan film kartun. Film kartun, hingga sekarang, masih diidentikkan dengan anak-anak. Para produser tayangan anak-anak pun masih banyak yang mengemas tayangan untuk anak-anak dalam bentuk film kartun. Kedua, saat anak-anak punya waktu menonton dan para orangtua sedang sibuk, yang banyak tersaji di TV adalah film kartun.
Berdasarkan pengamatan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pada bulan Januari 2008, ada 4 stasiun TV yang menayangkan film kartun di bawah pukul 07.00. Salah satunya Global TV yang menayangkan Dora the Explorer, Go! Diego GO!, dan Chalkzone berturut-turut sejak pukul 04.30-06.30, setiap hari. Tiga stasiun TV lain adalah Trans 7, ANTV, dan Indosiar, dengan durasi yang tak sebanyak Global TV.
Pada jam-jam inilah berbagai problem muncul karena seharusnya anak-anak menyiapkan diri untuk berangkat sekolah, namun aktivitas mereka lebih banyak didominasi dengan menonton kartun. Akibatnya, banyak anak yang tidak ikut jemputan karena terlambat, alat tulis atau buku yang tertinggal karena konsentrasi lebih ke televisi.
Saat anak-anak pulang sekolah, ada 3 stasiun TV yang dengan manis menunggu mereka menonton. Lagi-lagi, film kartun. Ada sekitar 20 judul film kartun yang tayang di TPI, ANTV, dan Global TV antara pukul 13.30 - 19.30 (YPMA, 2008). Belum lagi Spacetoon, TV lokal yang khusus untuk anak-anak, mayoritas acaranya adalah film kartun. Ada berbagai kemungkinan mengapa para ibu membiarkan anak-anak menonton film kartun pada jam-jam tersebut. Misal, karena ibu sedang bekerja, sebagai hiburan setelah pusing di sekolah, ataupun daripada bermain di luar rumah yang tidak aman untuk anak.
Berlimpahnya film kartun seperti itu tak hanya terjadi di tahun 2008 saja. Sejak 2005, film kartun mendominasi tayangan TV ber-genre program anak. Pada tahun 2005, rata-rata persentase film kartun dibandingkan tayangan anak lainnya adalah 72,09 %. Angka ini meningkat pada tahun 2006, yaitu 86,71% (YPMA, 2007).
Patut disayangkan bahwa acara-acara yang ditujukan anak-anak didominasi oleh produk luar negeri. Menurut pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2006, persentase total tayangan anak produk lokal 10 stasiun TV skala nasional hanya kisaran 11,4% - 19,3% setiap bulannya. Global TV menempati peringkat pertama sebagai TV nasional terbanyak menayangkan acara anak, yaitu sekitar 247 jam atau 43,7% dari keseluruhan acara. Hampir semua yang ditayangkan Global TV adalah produk luar, dalam bentuk film kartun atau film robot.
Tentunya kita ingin anak-anak menonton tayangan yang sesuai usianya, yaitu tayangan bergenre program anak. Tapi ibarat toko kue, maka snack program anak yang banyak tersedia di stasiun TV Indonesia adalah film kartun. Kasihan sekali para pembeli, anak-anak kita, yang rupanya tidak mempunyai banyak pilihan. Mereka tiap hari hanya mengemil film kartun produk luar negeri, dari pagi hingga malam. Padahal, seperti layaknya snack instan, banyak film kartun yang menawarkan cara berpikir instan dalam menyelesaikan masalah yaitu dengan kekerasan, kekuatan gaib, atau cara-cara yang tidak masuk akal lainnya.
Rating Kualitatif
Jika AC Nielsen menghitung rating dari segi kuantitas (jumlah) penonton, maka ini sebenarnya lebih untuk kepentingan para pengiklan dan stasiun TV. Semakin banyak yang menonton, semakin giranglah mereka. Tak peduli apakah tayangan itu sebenarnya sehat / berkualitas atau tidak untuk anak-anak.
Sebagai penonton, sudah saatnya kita perlu mengetahui rating kualitatif suatu tayangan, yaitu penilaian tayangan berdasarkan kualitas dari isi pesan yang disampaikan. Penilaian ini tentu saja sangat berafiliasi pada kepentingan penonton sebagai konsumen yang harus dihormati hak-haknya.
Di Indonesia sudah mulai ada penghitungan rating kualitatif seperti itu, meskipun baru ada satu lembaga yang menerbitkan dan baru sebatas program untuk anak-anak. Rating kualitatif ini dikenal dengan istilah Rating Kidia (Kritis! Media Anak) yang secara berkala (2 bulan sekali) diterbitkan oleh YPMA dalam bentuk buletin. Ada tiga rating kidia untuk program TV, yaitu aman, hati-hati, dan bahaya.
Rating 'Aman' adalah untuk acara yang tidak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara tersebut aman karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak bisa menonton tanpa didampingi, namun pendampingan akan mengoptimalkan muatan pendidikan yang ada. Rating aman disimbolkan dengan ikon warna hijau (gambar wajah tersenyum).
Rating 'Hati-hati' adalah untuk acara yang ceritanya cukup baik untuk anak namun di sana-sini masih ada unsur kekerasan, seks, ataupun mistis meskipun tidak berlebihan. Pendampingan perlu diberikan secara aktif agar anak-anak mengetahui motif kekerasan dan motif antisosial lainnya yang ada sehingga kontekstual. Rating 'Hati-hati' disimbolkan dengan ikon warna kuning (gambar wajah ragu-ragu).
Sedangkan rating 'Bahaya', yang disimbolkan dengan warna merah (gambar wajah ketakutan), dipertuntukkan bagi acara yang banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan detil. Adegan-adegan tersebut sering dijadikan sebagai daya tarik utama. Acara yang masuk rating bahaya sebaiknya tidak ditonton oleh anak-anak.
Berdasarkan pengamatan YPMA pada Januari 2008, jumlah acara anak yang ditayangkan oleh seluruh TV nasional ada 61 judul yang terdiri dari: 41 film kartun, 6 film robot dan science fiction (misal Power Rangers, Ultraman, dan lain-lain), 2 sinetron supernatural anak (misal Si Entong dan Si Eneng), 10 program dokumenter atau feature (misal Si Bolang, Laptop si Unyil, Cerita Anak, dan lain-lain), dan 2 reality show.
Bagaimana dengan rating Kidia program tersebut? Kebanyakan, rating bahaya disumbang oleh genre film kartun! Dari 41 film kartun, hanya 15 judul yang masuk rating aman untuk anak-anak, misal Captain Tsubasa, Go! Diego Go!, dan Dora the Explorer (Global TV). Film kartun yang lainnya, 26 judul, masuk rating hati-hati dan bahaya. Rating aman banyak disumbang oleh genre program dokumenter atau feature, misal Cerita Anak, Surat Sahabat, Si Bolang dan Cita-Citaku (Trans TV dan Trans 7). Dari sini kita dapat melihat bahwa sumbangan tayangan berrating aman untuk anak-anak adalah yang diproduksi oleh bangsa sendiri, bukan film kartun hasil impor.
Mengakrabkan Anak dengan Dunia Nyata
Menonton film kartun memang dapat dikatakan sebagai alasan sebagian besar anak untuk tidak lepas dari TV. Dengan jumlahnya yang mendominasi program anak, akan terasa sulit untuk memisahkan anak dengan film kartun. Perlu rasanya menggalakkan 'diet kartun' untuk anak-anak agar mereka tidak makin tergantung pada film kartun. Anak-anak memang masanya bermain dan bersenang-senang, tapi bukan berarti lantas kita membiarkan anak-anak disuapi film kartun apa saja.
Usia anak-anak adalah masa di mana rasa ingin tahunya sangat besar. Pada masa ini, karakter anak dibentuk melalui aktivitas bermain dan belajar. Anak-anak perlu dilatih mengekspresikan isi hatinya sekaligus dilatih mengatur dan mengontrol diri dalam beraktivitas. Karena TV bisa menjadi 'candu' bagi anak-anak, maka sudah selayaknya orangtua melatih anak-anak untuk bisa mengontrol diri dalam menonton, dengan memilih tayangan yang baik, yang konstruktif untuk masa depan mereka.
Kita pun perlu memposisikan anak sebagai 'manusia yang mempunyai hak' untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia realita dengan cara pandang seorang anak. Anak-anak perlu dilatih dengan penalaran “sebab-akibat” yang terjadi di dunia nyata, bukan cara berpikir instan dan serba mudah. Anak-anak pun berhak mendapatkan dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya (lihat pasal 10 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Kepekaan mereka perlu diasah dengan mengetahui kejadian yang menimpa orang atau negara lain. Dengan begitu anak-anak dapat terlatih menjadi warga negara yang baik, bukan warga negara yang mementingkan diri sendiri. Untuk itu, kehadiran tayangan dokumenter dan features khusus anak-anak, di mana salah satunya memberi ruang bagi anak untuk beropini tentang suatu kejadian, patut kita beri apresiasi.
Saatnya Melek Media
Inilah yang perlu disebarluaskan, melek media. Melek media (media literacy), adalah kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan media (Rubin, 1998). Skill melek media akan membantu para orang tua dan anak-anak untuk lebih kritis terhadap media, bisa memilih tayangan yang sehat. Dengan begitu, kita bisa menjadi konsumen media yang bijak. Media dapat kita posisikan sebagai 'alat bantu' meningkatkan kualitas hidup, bukannya malah membuat anak-anak berpikir instan, serba mudah, dan hanya menjadi 'pembantu' yang mendongkrak rating untuk para pengiklan dan stasiun TV. Melek media dapat diibaratkan sebagai tameng ataupu payung yang melindungi anak dari derasnya acara TV. #
Dampak tayangan bermuatan kekerasan terhadap anak-anak sudah sering kita wacanakan. Memang, dibandingkan kelompok usia penonton yang lain, penonton anak-anaklah yang banyak menjadi fokus perhatian. Anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat. Seorang pakar televisi dan anak, Milton Chen (1996), pernah berujar bahwa tak ada hal lain dalam kebudayaan ini yang mampu menandingi kemampuan TV dalam 'menyentuh' anak-anak. Lantas, bila kita cermati, belum ada tayangan anak lainnya yang mampu mengalahkan tayangan kartun dalam menarik perhatian anak.
Lagi-Lagi Kartun
Ketika TV menggeser peran orangtua dalam mendampingi anak-anak beraktivitas, sebenarnya karena - sadar tidak sadar - didukung orangtua itu sendiri. Sebagian besar orangtua di Indonesia masih dengan rela menyerahkan peran 'pengasuhan' anak kepada TV, khususnya tayangan kartun.
Memang cukup beralasan ketika sebagian besar orangtua memilih film kartun sebagai tontonan anak-anak mereka. Pertama, banyak orangtua merasa aman dengan film kartun. Film kartun, hingga sekarang, masih diidentikkan dengan anak-anak. Para produser tayangan anak-anak pun masih banyak yang mengemas tayangan untuk anak-anak dalam bentuk film kartun. Kedua, saat anak-anak punya waktu menonton dan para orangtua sedang sibuk, yang banyak tersaji di TV adalah film kartun.
Berdasarkan pengamatan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pada bulan Januari 2008, ada 4 stasiun TV yang menayangkan film kartun di bawah pukul 07.00. Salah satunya Global TV yang menayangkan Dora the Explorer, Go! Diego GO!, dan Chalkzone berturut-turut sejak pukul 04.30-06.30, setiap hari. Tiga stasiun TV lain adalah Trans 7, ANTV, dan Indosiar, dengan durasi yang tak sebanyak Global TV.
Pada jam-jam inilah berbagai problem muncul karena seharusnya anak-anak menyiapkan diri untuk berangkat sekolah, namun aktivitas mereka lebih banyak didominasi dengan menonton kartun. Akibatnya, banyak anak yang tidak ikut jemputan karena terlambat, alat tulis atau buku yang tertinggal karena konsentrasi lebih ke televisi.
Saat anak-anak pulang sekolah, ada 3 stasiun TV yang dengan manis menunggu mereka menonton. Lagi-lagi, film kartun. Ada sekitar 20 judul film kartun yang tayang di TPI, ANTV, dan Global TV antara pukul 13.30 - 19.30 (YPMA, 2008). Belum lagi Spacetoon, TV lokal yang khusus untuk anak-anak, mayoritas acaranya adalah film kartun. Ada berbagai kemungkinan mengapa para ibu membiarkan anak-anak menonton film kartun pada jam-jam tersebut. Misal, karena ibu sedang bekerja, sebagai hiburan setelah pusing di sekolah, ataupun daripada bermain di luar rumah yang tidak aman untuk anak.
Berlimpahnya film kartun seperti itu tak hanya terjadi di tahun 2008 saja. Sejak 2005, film kartun mendominasi tayangan TV ber-genre program anak. Pada tahun 2005, rata-rata persentase film kartun dibandingkan tayangan anak lainnya adalah 72,09 %. Angka ini meningkat pada tahun 2006, yaitu 86,71% (YPMA, 2007).
Patut disayangkan bahwa acara-acara yang ditujukan anak-anak didominasi oleh produk luar negeri. Menurut pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2006, persentase total tayangan anak produk lokal 10 stasiun TV skala nasional hanya kisaran 11,4% - 19,3% setiap bulannya. Global TV menempati peringkat pertama sebagai TV nasional terbanyak menayangkan acara anak, yaitu sekitar 247 jam atau 43,7% dari keseluruhan acara. Hampir semua yang ditayangkan Global TV adalah produk luar, dalam bentuk film kartun atau film robot.
Tentunya kita ingin anak-anak menonton tayangan yang sesuai usianya, yaitu tayangan bergenre program anak. Tapi ibarat toko kue, maka snack program anak yang banyak tersedia di stasiun TV Indonesia adalah film kartun. Kasihan sekali para pembeli, anak-anak kita, yang rupanya tidak mempunyai banyak pilihan. Mereka tiap hari hanya mengemil film kartun produk luar negeri, dari pagi hingga malam. Padahal, seperti layaknya snack instan, banyak film kartun yang menawarkan cara berpikir instan dalam menyelesaikan masalah yaitu dengan kekerasan, kekuatan gaib, atau cara-cara yang tidak masuk akal lainnya.
Rating Kualitatif
Jika AC Nielsen menghitung rating dari segi kuantitas (jumlah) penonton, maka ini sebenarnya lebih untuk kepentingan para pengiklan dan stasiun TV. Semakin banyak yang menonton, semakin giranglah mereka. Tak peduli apakah tayangan itu sebenarnya sehat / berkualitas atau tidak untuk anak-anak.
Sebagai penonton, sudah saatnya kita perlu mengetahui rating kualitatif suatu tayangan, yaitu penilaian tayangan berdasarkan kualitas dari isi pesan yang disampaikan. Penilaian ini tentu saja sangat berafiliasi pada kepentingan penonton sebagai konsumen yang harus dihormati hak-haknya.
Di Indonesia sudah mulai ada penghitungan rating kualitatif seperti itu, meskipun baru ada satu lembaga yang menerbitkan dan baru sebatas program untuk anak-anak. Rating kualitatif ini dikenal dengan istilah Rating Kidia (Kritis! Media Anak) yang secara berkala (2 bulan sekali) diterbitkan oleh YPMA dalam bentuk buletin. Ada tiga rating kidia untuk program TV, yaitu aman, hati-hati, dan bahaya.
Rating 'Aman' adalah untuk acara yang tidak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara tersebut aman karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak bisa menonton tanpa didampingi, namun pendampingan akan mengoptimalkan muatan pendidikan yang ada. Rating aman disimbolkan dengan ikon warna hijau (gambar wajah tersenyum).
Rating 'Hati-hati' adalah untuk acara yang ceritanya cukup baik untuk anak namun di sana-sini masih ada unsur kekerasan, seks, ataupun mistis meskipun tidak berlebihan. Pendampingan perlu diberikan secara aktif agar anak-anak mengetahui motif kekerasan dan motif antisosial lainnya yang ada sehingga kontekstual. Rating 'Hati-hati' disimbolkan dengan ikon warna kuning (gambar wajah ragu-ragu).
Sedangkan rating 'Bahaya', yang disimbolkan dengan warna merah (gambar wajah ketakutan), dipertuntukkan bagi acara yang banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan detil. Adegan-adegan tersebut sering dijadikan sebagai daya tarik utama. Acara yang masuk rating bahaya sebaiknya tidak ditonton oleh anak-anak.
Berdasarkan pengamatan YPMA pada Januari 2008, jumlah acara anak yang ditayangkan oleh seluruh TV nasional ada 61 judul yang terdiri dari: 41 film kartun, 6 film robot dan science fiction (misal Power Rangers, Ultraman, dan lain-lain), 2 sinetron supernatural anak (misal Si Entong dan Si Eneng), 10 program dokumenter atau feature (misal Si Bolang, Laptop si Unyil, Cerita Anak, dan lain-lain), dan 2 reality show.
Bagaimana dengan rating Kidia program tersebut? Kebanyakan, rating bahaya disumbang oleh genre film kartun! Dari 41 film kartun, hanya 15 judul yang masuk rating aman untuk anak-anak, misal Captain Tsubasa, Go! Diego Go!, dan Dora the Explorer (Global TV). Film kartun yang lainnya, 26 judul, masuk rating hati-hati dan bahaya. Rating aman banyak disumbang oleh genre program dokumenter atau feature, misal Cerita Anak, Surat Sahabat, Si Bolang dan Cita-Citaku (Trans TV dan Trans 7). Dari sini kita dapat melihat bahwa sumbangan tayangan berrating aman untuk anak-anak adalah yang diproduksi oleh bangsa sendiri, bukan film kartun hasil impor.
Mengakrabkan Anak dengan Dunia Nyata
Menonton film kartun memang dapat dikatakan sebagai alasan sebagian besar anak untuk tidak lepas dari TV. Dengan jumlahnya yang mendominasi program anak, akan terasa sulit untuk memisahkan anak dengan film kartun. Perlu rasanya menggalakkan 'diet kartun' untuk anak-anak agar mereka tidak makin tergantung pada film kartun. Anak-anak memang masanya bermain dan bersenang-senang, tapi bukan berarti lantas kita membiarkan anak-anak disuapi film kartun apa saja.
Usia anak-anak adalah masa di mana rasa ingin tahunya sangat besar. Pada masa ini, karakter anak dibentuk melalui aktivitas bermain dan belajar. Anak-anak perlu dilatih mengekspresikan isi hatinya sekaligus dilatih mengatur dan mengontrol diri dalam beraktivitas. Karena TV bisa menjadi 'candu' bagi anak-anak, maka sudah selayaknya orangtua melatih anak-anak untuk bisa mengontrol diri dalam menonton, dengan memilih tayangan yang baik, yang konstruktif untuk masa depan mereka.
Kita pun perlu memposisikan anak sebagai 'manusia yang mempunyai hak' untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia realita dengan cara pandang seorang anak. Anak-anak perlu dilatih dengan penalaran “sebab-akibat” yang terjadi di dunia nyata, bukan cara berpikir instan dan serba mudah. Anak-anak pun berhak mendapatkan dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya (lihat pasal 10 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Kepekaan mereka perlu diasah dengan mengetahui kejadian yang menimpa orang atau negara lain. Dengan begitu anak-anak dapat terlatih menjadi warga negara yang baik, bukan warga negara yang mementingkan diri sendiri. Untuk itu, kehadiran tayangan dokumenter dan features khusus anak-anak, di mana salah satunya memberi ruang bagi anak untuk beropini tentang suatu kejadian, patut kita beri apresiasi.
Saatnya Melek Media
Inilah yang perlu disebarluaskan, melek media. Melek media (media literacy), adalah kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan media (Rubin, 1998). Skill melek media akan membantu para orang tua dan anak-anak untuk lebih kritis terhadap media, bisa memilih tayangan yang sehat. Dengan begitu, kita bisa menjadi konsumen media yang bijak. Media dapat kita posisikan sebagai 'alat bantu' meningkatkan kualitas hidup, bukannya malah membuat anak-anak berpikir instan, serba mudah, dan hanya menjadi 'pembantu' yang mendongkrak rating untuk para pengiklan dan stasiun TV. Melek media dapat diibaratkan sebagai tameng ataupu payung yang melindungi anak dari derasnya acara TV. #
Tulisan ini dimuat di web site pikiran rakyat online. alhamdulillah..... dpt honor lho.... hehehe