Media : Dubbing

Sekarang saya tahu kenapa saya dahulu tidak suka film India. Karena didubing (sulih suara)! Suara Sanjay Dut dan Amitha Bachan berubah jadi suara Indonesia. Yah, hilang rasa.

Padahal, seninya menonton sebuah film itu ada di “rasa” bahasa. 

Orang India itu kalau bicara berirama dan menggunakan bahasa tubuh yang khas. Jadi, kurang enak jika melihat aktor India dengan gaya tertentu (misal menengklengkan kepala tanda Oke) tapi bicaranya bahasa Indonesia. Sementara di Indonesia, beda gaya tubuh.

Yah, untunglah sekarang ada teknologi internet. Saya bisa menonton film-film India berkualitas dengan bahasa aslinya. Seperti film Lagaan, 3 Idiots, PK, Munna Bhai MBBS dan Munna Bhai Lage Raho. 

Pernah juga menonton Frozen yang didubbing ke bahasa Melayu dan Arab. Yah, memang Frozen didubbing ke berbagai bahasa ya. Tapi saya pertama kali menonton adalah dengan bahasa Inggris. Jadi saat tokoh Anna berbicara "Kakak....nak bina orang salji?", serasa sedang menonton Ipin-Upin. Atau saat Elsa menyanyi dengan bahasa Arab, "Ana wahida....", saya kok merasa aneh ya. 

Serial Marsha and The Bear misalnya. Saya sangat suka dengan khas suara Alina Kukushlina. Sangat berkarakter! Makanya saya sedih saat Marsha edisi terbaru yang keluar pertama kali di website resmi Marsha adalah dengan bahasa Inggris, suara Marsha diisi oleh pengisi suara Minion cewek.  Hilang rasa menurut saya.

Makanya, saya tidak memberikan tontonan kepada anak-anak saya yang dialognya didubing. Biarkan saja bahasanya tetap bahasa Rusia, Jepang, Inggris, Korea, Perancis, Malaysia, dan India. Rata-rata tontonan anak-anak saya bisa dimengerti tanpa harus mendengarkan dialognya. Karena yang kami berikan adalah tontonan yang sederhana. Kalau ada dialog yang agak susah, kami terjemahkan atau carikan subtitlenya. Kalau kami tidak tahu bahasanya, dikira-kira saja, "Sepertinya ini yang dimaksud."

Selain mendapatkan pesan positif dari sebuah tontonan, saya juga ingin anak-anak saya tahu bahwa sebuah tontonan yang baik bukan hanya dari segi cerita, tapi juga dari bahasa, musik, dan penataan animasinya.

Tapi, kalau hanya memikirkan keluarga, tidak masalah ya saya berkata "Dubbing itu tidak perlu!". Tapi saat melihat masyarakat, banyak anak-anak yang dilepas orangtuanya di depan TV tanpa didampingi, bagaimana mereka bisa menikmati tontonan dengan berbagai macam bahasa asing ya?

Aih, pelik juga ya masalah dubbing, harus juga memikirkan:
- anak-anak yang tidak didampingi orangtua saat menonton TV
- orang-orang dewasa yang kemampuan membaca teksnya kurang memadai
- kemampuan para dubber
- kurangnya tenaga ahli sutradara dubber
- juga peraturan-peraturan terkait dubbing.

Perlu banyak mengkaji lagi. Namun satu hal yang ingin saya tekankan, sebuah karya film tidak hanya dinikmati soal visualisasi saja, tapi indahnya bahasa yang dituturkan oleh penutur aslinya juga perlu untuk dinikmati. Bahasa itu indah. Bagaimana anak-anak bisa mengerti bahwa di dunia ini bahasa itu banyak sekali dan semuanya indah!