Dokter Pachaas

Dia adalah chest specialist, dokter spesialis dada. Dia membuka klinik 4 x 4 meter, di sebuah jalan padat pemukiman, di kota Lahore. Kliniknya sangat bersahaja (baca : sangat sederhana sekali). Hanya ada dua kursi tunggu, dua kursi untuk pasien, satu meja untuk dokter, satu kursi untuk dokter, dipan sempit dengan sprei putih kusam, satu almari obat, dan sebuah TV kecil sebagai teman mengusir sepi. Plang kliniknya semua bertuliskan dan berbahasa urdu. Dia punya satu asisten, seorang bujang yang kadang datang kadang tidak. Klinik buka dari jam 6 sore - 10 malam di hari kerja, dan 9 pagi - 12 siang di hari Sabtu.

Memandang rupa klinik itu, saya tidak pernah berhasrat, apalagi berencana datang mengunjungi. Jangankan mengunjungi, untuk tahu saja saya enggan. Hampir setiap kali melewati klinik itu, saya tak pernah memperhatikan tulisan apa yang ada di plang klinik itu.

*((()))*

"Rumah saya di samping klinik Dokter Rasyeed", kata teman sesama orangtua murid di Lahore British School.
"Dokter Rasyeed? Di mana itu?", saya balik bertanya.
"Kamu tidak tahu? Ek, do, tin, chaar.... Nah, itu pintu yang keempat", teman saya menunjuk kliniknya.
"Acha...."

Esoknya, saya amati, ooh...tulisan yang ada di plang memang bunyinya "Rasyeed Clinic". Namun, saya tidak pernah mencatatnya.

*((()))*

Musim berganti musim, bulan telah berkali-kali menyelesaikan orbitnya, tahun telah berganti angka, Rasyeed Clinic tak kunjung masuk dalam diary saya. Hingga di suatu malam.......

Di suatu malam, saya merasakan sakit telinga luar biasa. Tidak bisa tidur. Esoknya, di hari Sabtu, kami meminta rekomendasi dokter telinga yang bagus yang buka di hari Sabtu. Pemilik rumah kami berkata, kalau dokter spesialis biasanya hanya Senin - Jumat.

"Tapi, saya tahu dokter spesialis yang tidak biasa, dia buka di hari Sabtu"
"Oh..good. Di mana itu?"

Ternyata, pemilik rumah kami mengajak saya ke Dokter Rasyeed. 

"Tapi....dia kan spesialis dada, sementara saya sakit telinga?", saya memprotes, karena saya tidak pernah mendengar melalui dada dan tidak pernah berdegup kencang di telinga. Intinya, dada dan telinga berbeda jauh.

"Don't worry.... Dia tahu banyak hal. Ini pertolongan pertama saja, kalau senin masih sakit, kalian bisa ke spesialis telinga".

Karena alasan "emergency", saya mempasrahkan telinga saya diobati oleh seorang spesialis dada. 

"Berapa?", tanya kami usai pemeriksaan.
"Pachaas. Fifty rupees", kata Dokter sambil tersenyum.

Lima puluh Rupee Pakistan adalah sekitar Rp. 6.665,- 

Maka saat itu, saya bagaikan terlempar jauh ke negeri dongeng  
Di abad 21, di mana anak umur lima tahun sudah bermain gadget seharga jutaan rupiah, masih ada seorang Dokter spesialis yang hanya menarik bayaran sekitar tujuh ribu rupiah! Tujuh ribu untuk cek sekaligus obat. Bayangkan, TUJUH RIBU RUPIAH!

Sejak itu, saya sangat tertarik dengan kisah "dongeng nyata" Dokter Rasyeed.

Alkisah, menurut pemilik rumah kami, Dokter melalui hari-hari susahnya di jaman dahulu di jalan padat pemukiman ini (mungkin dulu belum padat). Di masa yang agak tua, kerja kerasnya berbuah, bisa mendapatkan kehidupan yang sangat lebih layak di tempat lain. Namun, kenangannya pada jalan padat pemukiman ini tak punah oleh silaunya kekayaan. Maka, yang ingin dia lakukan adalah berbuat baik kepada orang-orang susah yang ditimpa sakit.

Seperti saya, alhamdulillah lumayan sembuh tanpa mencari spesialis telinga.