Mengapa Harus Selingkuh dan Poligami?

Seorang Ibu muda datang ke konsultan rumah tangga.

"Jadi, apa permasalah Ibu?", tanya konsultan.

Ibu tadi diam, tidak bisa berkata-kata.

"Suami Ibu selingkuh?", konsultannya sok tahu.

Ibu itu masih diam.

"Mau dipoligami?", ini konsultan betulan atau jadi-jadian sih, seperti menginterogasi.

"Saya...rumah tangga saya bermasalah sekali Pak. Saluran wastafel mampet sudah seminggu, tali jemuran putus, listrik yang di kamar mandi rusak, terus sepertinya ada bau bangkai tikus di rumah tapi tidak tahu di mana...".

"Bu, kalau masalahnya itu, cari tukang, bukan ke konsultan!"

"Tapi, masalahnya....."

"Ibu nggak elite banget sih masalahnya!", konsultannya sewot.


Eh, ada ya konsultan seperti itu? Tidak tahu sih, saya cuma sedang mengkhayal saja. Saya sebenarnya sedang heran dengan film-film, sinetron, novel, dan cerpen-cerpen rumah tangga yang beredar di Indonesia. Mengapa suka sekali mengangkat masalah seperti selingkuh dan poligami. Apakah laki-laki Indonesia yang bejat itu pasti selingkuh dan yang sholeh pasti poligami?

Pola pikir masyarakat itu dibentuk dari apa yang ditonton, apa yang didengar, dan apa yang dibaca. Masyarakat seperti apa yang akan dibentuk jika hiburannya hanya tentang selingkuh dan poligami, ditambah perceraian?

Kalau kreatif, masalah sepele juga bisa menjadi ide cerita atau ide film yang juga menggugah kesadaran masyarakat.

Saya ambil contoh penulis dan filmaker Raditya Dika. Menurut saya, ini menurut saya lho ya, Raditya Dika itu sangat kreatif dan cerdas memilih masalah untuk dijadikan ide cerita. Kalau ditonton sekilas, saya awalnya berkomentar "Dika nggak penting banget sih!". Tapi setelah saya pikir-pikir, ada benarnya juga ya. Setelah saya pikir-pikir, oh iya, itu masalah umum di masyarakat, dan ternyata itu salah. Saya ambil contoh lagi, Salman Aristo. Film Salman Aristo paling saya suka itu Jakarta Maghrib. Parkir mobil yang salah dan ambil jalan pintas untuk menghindari macet pun bisa menjadi ide cerita.

Ah, saya ini cuma bisanya komentar. Belum bisa aksi. Memang......di mana-mana komentar jauh lebih gampang daripada berkarya.